Sabtu, 29 Oktober 2011

POSITIVISME AUGUSTE COMTE


POSITIVISME AUGUSTE COMTE
Oleh: M.Subhan Lutfi, S.Pd.I


PENDAHULUAN
Dalam kehidupan yang serba carut marut pasca Revolusi perancis abad 19 seorang ahli fisika dan politehnik terkemuka zaman itu mencoba untuk menstabilkan sebuah masyarakat dengan mencoba untuk memberikan sebuah solusi tentang konsep masyarakat ideal yaitu masyarakat positivistik. Aguste Comte hadir dalam rangka memberikan jawaban atas keresahan dan kecarut marutan masyarakat Prancis. Dengan teori determinanya dia mencoba menggambarkan masyarakat Perancis dalam tiga tahap, yaitu masyarakat teologis atau mitos, masyarakat metafisika, dan masyarakat positivis yang disebut oleh Aguste comte sebagai masyarakat yang mapan. Positivisme memberikan sebuah kunci pencapaian hidup manusia dan ia mrupakan satu-satunya formasi sosial yang benar-benar bisa dipercaya kehandalan dan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan masyarakat.
Positivisme berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Segala uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh karenanya metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala yang tampak.[1]
 Adapun permasalahan yang dibahas dalam pembuatan makalah ini adalah : Bagaimanakah konsep positivisme Auguste Comte?dan Bagaimanakah pandangan Auguste Comte tentang sejarah manusia dan ilmu pengetahuan?




RIWAYAT HIDUP AUGUSTE COMTE
Auguste Comte (nama lengkap Isidore Marie Auguste François Xavier Comte) (17 Januari 1798 - September 5, 1857) adalah seorang Perancis pemikir yang dikenal sebagai "Bapak Sosiologi”. Ia mengembangkan filsafat yang ia sebut " Positivisme , "di mana ia menggambarkan masyarakat manusia sebagai memiliki dikembangkan melalui tiga tahap, yang ketiga yang ia disebut" positif "panggung, didominasi oleh pemikiran ilmiah. Dia adalah yang pertama untuk menerapkan metode ilmiah untuk dunia sosial, dan menciptakan istilah sosiologi untuk menggambarkan studi ilmiah tentang masyarakat manusia. Ia berharap bahwa melalui upaya tersebut, pemahaman masyarakat manusia dapat dicapai yang akan memungkinkan manusia untuk maju ke tingkat lebih tinggi, di mana seluruh umat manusia dapat berfungsi bersama sebagai satu. Dia juga menciptakan istilah " altruisme , "menganjurkan bahwa orang harus hidup untuk kepentingan orang lain. Meskipun kita bekerja Comte tampaknya menganggap kecerdasan manusia sebagai yang paling penting dalam membangun tatanan dunia baru, dalam karya terakhirnya, dia memeluk konsep cinta sebagai membawa solusi untuk semua masalah manusia.. Sedangkan visi Comte sebuah masyarakat dunia baru yang dibawa melalui bentuk agak mistis sosiologi ilmiah belum terjadi, karyanya menyediakan landasan bagi kemajuan besar dalam pemahaman tentang fungsi masyarakat bagaimana manusia.[2]




PEMBAHASAN
A.    Pengertian Positivisme
Istilah positivisme pertama kali digunakan oleh Henri Saint Simon. Istilah “positivisme” kemudian dipopulerkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata “positif”. Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai istilah “filsafat positif” dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten di sepanjang bukunya. Dengan “filsafat” dia mengartikan sebagai “sistem umum tentang konsep-konsep manusia”, sedangkan “ positif “ diartikannya sebagai “teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati.”Dengan kata lain, “positif” sama dengan “faktual”, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.[3]
Dalam penegasan itu jelas yang ditolak positivisme, yakni metafisika. Penolakan metafisika disini bersifat definitif. Dalam kritisismenya, comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika, teologi, seni, yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah yang faktual. Satu-satunya bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan.
B.     Perkembangan Sejarah Manusia Melalui Tiga Tahap
Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yang ia sebut “tahap teologis”, “tahap metafisis”, dan “tahap positif”. Ketiga tahap itu dipahami Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dan menurut Comte, juga bersesuaian dengan tahap-tahap perkembangan individu dari masa kanak-kanak, memalui masa remaja, ke masa dewasa.[4]
1.      Zaman Teologis
Dalam tahap teologis menurut Comte, umat manusia mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa-peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini disebut dewa-dewa yang dibayangkan memiliki kehendak atau rasio yang melampaui manusia. Zaman ini lalu dibagi menjadi tiga sub-bagian. Tahap ini dapat dirinci menjadi tiga tahap, yaitu: a) Tahap yang paling bersahaja atau primitive, ketika orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme), b) Tahap politeisme yaitu tahap ketika orang menurunkan kelompok-kelompok tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari sesuatu kekuatan adikodrati, yang melatarbelakanginya sedemikian rupa sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri, c) Tahap Monoteisme yakni tahap yang tertinggi, ketika orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi.
2.      Zaman Metafisis
Dalam tahap metafisis umat manusia berkembang dalam pengetahuannya seperti seseorang melangkah pada masa remajanya. Kekuatan adimanusiawi dalam tahap sebelumnya itu sekarang diubah menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Misalnya: konsep “ether”, “causa”, dst. Dengan demikian, peralihan ke tahap ini diselesaikan sesudah seluruh konsep mengenai kekuatan-kekuatan adimanusiawi diubah menjadi konsep-konsep abstrak mengenai alam secara keseluruhan. Tidak ada lagi dewa-dewa, yang ada hanyalah entitas-entitas abstrak yang metafisis, dengan pengertian-pengertian atau dengan pengada-pengada yang lahiriah dan dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum yaitu alam. Dimana alam dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.
3.      Zaman Positif
Akhirnya, umat manusia mencapai kedewasaan mentalnya dalam tahap positif. Pada zaman ini umat manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab di luar fakta-fakta yang teramati. Pikiran hanya memusatkan diri pada yang faktual yang sebenarnya bekerja menurut hukum-hukum umum, misalnya hukum gravitasi. Baru pada tahap inilah ilmu pengetahuan berkembang penuh. Ilmu pengetahuan tidak hanya melukiskan yang real, tapi juga bersifat pasti dan berguna. [5]
Comte juga mencoba menghubungkan tahap-tahap mental tersebut dengan bentuk-bentuk organisasi sosial. Tahap teologis dihubungkannya dengan absolutisme misalnya otoritas absolut raja dan golongan militer. Pada tahap metafisis, absolutisme raja dihancurkan dan diganti dengan kepercayaan akan hak-hak abstrak rakyat dan hukum. Akhirnya, pada tahap positif organisasi masyarakat industri menjadi pusat perhatian. Ekonomi menjadi primadona dan kekuasaan elite intelektual muncul. Mereka ini menduduki peran organisator sosial bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu baru yang dapat mereka pakai untuk mengorganisasikan masyarakat industri pada saat itu.

C.    Ilmu Pengetahuan Positif Auguste Comte
Seperti yang telah dibahas sebelumnya yakni pada tahap yang terakhir dalam perkembangan manusia kemudian memunculkan ilmu pengetahuan positif. Pengetahuan positif inilah yang kemudian menjadi pedoman hidup dan landasan cultural, institusional dan kenegaraan, untuk menuju suatu masyarakat yang maju dan tertib.
Filsafat Positif yang digagas Augiste Comte ini adalah hasil konfigurasi dari hukum-hukum dasar filsafat Rasionalisme dan Empirisme. Dari Rasionalisme, Positivisme mengambil berkah hubungan korelasional timbal balik. Kemudian, dari Empirisme, yang diambil adalah fakta sosial, perangkat-perangkat penelitian, dan statistika untuk menganalisa fakta sosial tersebut. Dengan konfigurasi inilah, Positivisme menemukan posisinya dalam bidang fisika sosial.
Positivisme mempunyai kaitan dengan rasionalisme. Comte telah merujuk pada rasonalisme yang dikembangkan oleh Descartes dan pada ilmu pengetahuan alam seperti yang dikembangkan oleh Galileo Galilei Isac Newton, dan Francis Bacon. Dua jenis ilmu pengetahuan tentang alam inilah yang merupakan model dari ilmu pengetahuan positif, yang dikembangkan oleh Comte di dalam gagasan-gagasannya mengenai positivisme.[6]
Selain dengan rasionalisme, positivisme juga berkaitan dengan empirisme. Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang enekankan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan. Fakta dimengerti sebagai “fenomena yang dapat diamati”, maka sebenarnya positivisme terkait erat dengan empirisme. Akan tetapi, sementara empirisme masih menerima adanya pengalaman subjektif yang bersifat rohani, positivisme menolaknya sama sekali.[7] Yang dianggap sebagai pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi. Karena itu, positivisme adalah ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan dalam Pencerahan Prancis.
Menurut Zainal Abidin dalam bukunya yang berjudul Filsafat Manusia : Memahami Manusia Melalui Filsafat mengutarakan beberapa asumsi untuk bangunan ilmu pengetahuan positif ini.
1.      Obyektif. Ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) obyektifitas pengetahuan berlangsung dari dua pihak yaitu subyek dan obyek. Pada pihak subyek, seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya dipengaruhi oleh factor-faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri, misalnya sentiment pribadi, penilaian-penilaian etis, kepentingan pribadi atau kelompok, kepercayaan agama, dan apa saja yang dapat mempengaruhi obyektifitas tehadap obyek yang sedang diteliti. Pada pihak obyek, aspek-aspek dan dimensi-dimensi lain yang tidak bisa diukur di dalam observasi, misalnya saja roh atau jiwa, tidak dapat ditolelir keberadaannya. Laporan-laporan atau teori-tori ilmiah hanya menjelaskan fakta-fakta dan kejadian-kejadian yang dapat di observasi dan dapat dibuktikan keberadaannya. Dengan mengandaikan obyek sosial sebagai sesuatu yang bersifat konstan, dan mengambil jarak (distansi) dengan obyek sosial yang diteliti, diharapkan penjelasan yang detail dan akurat mengenai obyek tersebut dapat dikemukakan. Sekian lamanya, Filsafat Positif yang kemudian menjadi disiplin Ilmu tersendiri bernama Sosiologi ini berdiri dengan mapan.
2.      Ilmu pengetahuan hanya beririsan dengan hal-hal yang berulang kali terjadi. Jika ilmu pengetahuan hanya berlangsung sekali saja maka pengetahuannya tidak akan membantu kita untuk meramalkan atau memastikan hal-hal yang akan terjadi. Padahal ramalan (prediksi) merupakan salah astu tujuan terpenting dari ilmu pengetahuan. Di dalam setiap penjelasan (teori atau hukum) ilmiah sudah terkandung prediksi. Comte menggambarkan hubungan prediksi dengan penjelasan ilmiah sebagai berikut: “Karena penjelasan ilmiah merupakan sisi depan prediksi, penjelasan ilmiah itu meletakkan dasar bagi pengendalian instrumental atas fenomena dengan cara memberikan jenis informasi yang akan memungkinkan orang memanipulasi variabel-variabel tertentu untuk menciptakan keadaan atau untuk mencegah terciptanya keadaan itu”
3.      Ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau keadaan alam dari saling ketergantungan dan antarhubungannya dengan fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian lain. Fenomena yang saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis. Maka perhatian utama ilmuwan bukan diarahkan pada hakekat dari gejala-gejala atau kejadian-kejadian, melainkan pada relasi-relasi luar (eksternal), khususnya relasi sebab-akibat (kausal), antara benda-benda, gejala-gejala atau kejadian-kejadian. Gejala-gejala alam tidak ditinjau secara terpisah, tetapi sejauh mereka merupakan suatu jaringan relasi-relasi yang bersifat tertentu dan konstan.[8]
Comte mempunyai keyakinan epistemologis dan metodologis yang sangat kuat. Penolakan Comte atas cara berpikir teologis dan metafisis, serta usahanya untuk merumuskan suatu ilmu pengetahuan positif yang bersifat obyektif, ilmiah, dan universal, pada akhirnya membawa dirinya pada ilmu pasti (the science of number). Studinya yang mendalam mengenai ilmu ini mendorong dia pada kesimpulan bahwa ilmu pasti memiliki tingkat kebenaran yang sangat tinggi (bebas dari penilaian-penilaian subyektif dan berlaku universal. Oleh sebab itu, suatu penjelasan tentang fenomena tanpa disertai perhitungan ilmu pasti adalah belaka. Tanpa ilmu pasti (matematika atau metafisis), ilmu pegetahuan akan kembali menjadi metafisis.

















KESIMPULAN
Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Dalam usia 25 tahun, Comte studi di Ecole Polytecnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog. Saint-Simon menerimanya sebagai sekretarisnya, dan sulit dipungkiri bahwa pemikiran Saint-Simon mempengaruhi perkembangan intelektual Comte.
Comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yang ia sebut “tahap teologis”, “tahap metafisis”, dan “tahap positif” yaitu tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai suatu keseluruhan.
Filsafat Positif yang digagas Augiste Comte ini adalah hasil konfigurasi dari hukum-hukum dasar filsafat Rasionalisme dan Empirisme. Comte telah merujuk pada rasonalisme yang dikembangkan oleh Descartes dan pada ilmu pengetahuan alam seperti yang dikembangkan oleh Galileo Galilei Isac Newton, dan Francis Bacon.
Comte mempunyai keyakinan epistemologis dan metodologis yang sangat kuat. Penolakan Comte atas cara berpikir teologis dan metafisis, serta usahanya untuk merumuskan suatu ilmu pengetahuan positif yang bersifat obyektif, ilmiah, dan universal, pada akhirnya membawa dirinya pada ilmu pasti (the science of number).


DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2006.


Hadiwijono, Harun,Sari Sejarah Filsafat Barat”. Kanisius, Yogyakarta, 1980.

Hanafi, A, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat. Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1961.

Praja, Juhaya, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta, Prenada Media, 2003.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thaes Sampai Capra. Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2005.




[1] Harun Hadiwijono,. ”Sari Sejarah Filsafat Bara 2”.( Kanisius: Yogyakarta, 1980), h. 109

[2]Ensiklopedia bebas, http://id.wikipedia.org/wiki/August_comte.(20/11/2010)
[3] Harun Hadiwijono, op.cit, h. 112
[4]A.Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat,(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1961), h. 112
[5] Harun Hadiwijono,op.cit h. 110
[6]Juhaya, Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika.( Jakarta: Prenada Media, 2003), h.87
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thaes Sampai Capra.(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h.92
[8] Zainal Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h.136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar