Sabtu, 29 Oktober 2011

KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU DALAM ISLAM

KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU DALAM ISLAM
Oleh: Muhammad Subhan Lutfi


A.    Pendahuluan
Bagi umat Islam, menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan baik oleh muslim laki-laki maupun muslim perempuan dan tidak pandang umur. Selagi nafas dikandung badan, menuntut ilmu adalah WAJIB HUKUMNYA. Ilmu apapun sepanjang itu membawa kemashlahatan bagi diri dan umat manusia pada umumnya.
Dalam hal menuntut ilmu pengetahuan, Agama Islam telah memberikam konsep yang brilian dan luar biasa yang disebut konsep menuntut ilmu sepanjang hayat, dalam dunia barat dikenal dengan life long education. Hal ini tercermin pada hadits Rasulullah saw:
اطْلُبُوْا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ
Artinya : Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahad
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa dalam menuntut ilmu tidak mengenal waktu, usia, dan juga tidak mengenal perbedaan. Pria dan wanita punya kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu sehingga setiap orang, baik pria maupun wanita bisa mengembangkan potensi yang diberikan Allah swt, sesuai dengan fitrahnya. Karena itulah agama memandang bahwa ibadah tidak terbatas pada sholat, puasa, zakat dan haji saja, tetapi menuntut ilmu juga termasuk ibadah. Bahkan ilmu dianggap sebagai ibadah yang utama, sebab dengan ilmulah kita bisa melaksanakan ibadah-ibadah lainnya dengan benar. Tanpa ilmu pengetahuan maka ibadah yang dilaksanakan tidak bernilai apa-apa dalam tantaran hakikat.
Dengan ilmu pulalah manusia dapat meraih kesejahteraan hidup didunia dan kebahagiaan diakhirat. Disinilah urgensi ilmu sebagai suatu yang niscaya dimiliki oleh setiap muslim. Oleh karena itu menuntu ilmu wajib bagi setiap individu muslimin dan muslimat tanpa adanya perbedaan.

B.     Definisi Ilmu
Dalam perspektif ensiklopedi Islam, kata Ilmu berasal dari bahasa Arab yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata dari jahil, ketidaktahuan atau kebodohan.[1]
Sementara itu, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ilmu secara bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Oleh karena itu lebih lanjut dia menjelaskan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.[2]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian tentang hal yang berhubungan dengan duniawi, akhirat, lahir, batin dan lain sebagainya.[3]
Pengertian lain dapat ditemukan dalam ensiklopedi al-Qur’an yang menjelaskan kata ilmu bentuk masdar dari a’lima ya’lamu-‘ilman. Menurut Ibnu Zakaria, pengarang buku Mu’jam Muqayyis Al-Lugah bahwa kata ‘ilm mempunyai arti detonative “bekas sesuatu yang dengannya dapat dibedakan sesuatu dari yang lainnya”. Menurut Ibnu Manzur, ilmu adalah antonym dari tidak tahu (Naqid al Jahl), sedangkan menurut al-Asfahani dan al-Anbari, ilmu adalah mengetahui hakekat sesuatu.[4]
Imam Ragib al-Asfahani dalam kitabnya Mufradat al-Qur’an sebagaimana dikutib Yusuf Qardhawi berkata, “Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan hakikatnya.[5]

C.    Perintah Menuntut Ilmu
Dalam al-Qur’an banyak ayat yang mewajibkan manusia untuk menuntut ilmu pengetahuan baik secara tersirat maupun tersurat. Islam sebagai agama yang paling mulia memandang ilmu sebagai cahaya dalam kehidupan, sementara kebodohan merupakan “kematian dan kegelapan”. Seperti diketahui bahwa kejahatan disebabkan oleh ketidakadaan cahaya yang menerangi didalam hidup dan kehidupan. Ilmu merupakan cahaya yang menuntun hidup dan kehidupan manusia agar selamat didunia dan diakhirat. Sehingga tampak jelas urgensi ilmu dalam kehidupan manusia.
Ayat pertama yang turun adalah surat Al-Alaq ayat 1-5. Ayat tersebut sekaligus sebagai ayat pertama yang mewajibkan kepada manusia untuk menuntut ilmu melalui belajar dengan jalan membaca, baik dalam makna tekstual maupun dalam makna majazi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  

  1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
  2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
  3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
  4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.
  5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Turunnya surat al alaq 1-5 menyuruh kepada Nabi Saw untuk membaca, walaupun ketika itu beliau belum bisa membaca dan menulis. Namun malaikat Jibril mendesaknya sampai 3 kali agar Nabi Saw membaca, sampai akhirnya beliau membaca dengan dibimbing Malaikat jibril.
Hal itu menunjukkan bahwa untuk dapat memahami petunjuk Allah Swt., yang diberikan melalui wahyuNya, maka seseorang harus dapat membaca, karena membaca merupakan kunci ilmu pengetahuan.
Pada ayat kedua surat tersebut dijelaskan bahwa Allah Swt, menciptakan manusia dari segumpal darah kemudian menjadikannya sebagai makjkluk yang paling mulia. Ini menunjukkan betapa maha kuasanya Allah dengan ilmu dari asal kejadian yang rendah mahkluk yang paling mulia.
Kemudian pada ayat ketiga Allah Swt menyuruh kembali untuk membaca, dengan menunjukkan betapa pentingnya membaca yang hanya dapat diperoleh dengan latihan berulang-ulang. Seperti halnya nabi saw, yang tidak dapat membaca, dengan bimbingan malaikat Jibril secara berulang-ulang akhirnya beliau dapat membaca hingga mengantarnya menjadi mahkluk yang paling mulia.[6]
Dengan demikian rangkaian ayat dalam surat ini menunjukkan betapa pentingnya memiliki kemampuan membaca dan menulis serta pentingnya ilmu pengetahuan yang dapat mengangkat derajat manusia dihadapan Allah Swt.
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa kata “iqra” pada ayat diatas, terambil dari kata kerja “qara’a” yang pada mulanya berarti menghimpun. Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan bahwa apabila anda merangkai huruf atau kata kemudian anda mengucapkan rangkaian tersebut, maka anda telah menghimpunnya yakni membacanya. Dengan demikian realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain.[7]
Beraneka ragam pendapat ahli tafsir tentang objek bacaan yang dimaksud. Ada yang berpendapat wahyu-wahyu al-Qur’an, sehingga perintah itu dalam arti bacalah wahyu-wahyu al-Qur’an ketika dia turun nanti. Ada juga yang berpendapat objeknya adalah “isma Rabbika” sambil menilai huruf “ba” yang menyertai kata isim adalah sisipan sehingga ia berarti bacalah nama Tuhanmu atau berdzikirlah. Tapi menurut Quraish Shihab, jika demikian mengapa Nabi saw menjawab “saya tidak dapat membaca”. Seandainya yang dimaksud adalah perintah berdzikir tentu beliau tidak menjawab demikian karena jauh sebelum dating wahyu beliau telah senantiasa melakukannya.[8]
Huruf “ba” pada kata “bismi” ada juga yang memahaminya sebagai penyertaan atau mulaabasah, sehingga dengan demikian ayat tersebut berarti “bacalah disertai dengan nama tuhanmu”. Disini dapat kita pahami bahwa apapun yang kita kerjakan hendaknya dimulai dengan menyebut nama Tuhan. Demikian halnya belajar dalam konteks menuntut ilmu.[9]
Wahyu pertama sebagai dasar utama yang mewajibkan menuntut ilmu tersebut tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut “bismi rabbika”, dalam arti bermanfaat bagi kemanusiaan. Iqra, berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah maupun diri sendiri, yang tertulis maupun tidak tertulis.[10] Jadi objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Selanjutnya menurut Quraish Shihab, dari wahyu pertama al-Qur’an diperoleh isyarat bahwa ada dua cara memperoleh dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah allah mengajar manusia dengan perantaraan atau usaha dari manusia itu sendiri, dan mengajar manusia tanpa perantaraan dan tanpa usaha dari manusia. Walaupun berbeda, tetapi keduanya berasal dari satu sumber yaitu Allah SWT.[11]
Dalam pandangan al-Qur’an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercemin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 31 dan 32:
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ   (#qä9$s% y7oY»ysö6ß Ÿw zNù=Ïæ !$uZs9 žwÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ  

Artinya: (31) Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!". (32) Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Selanjutnya menurut al-Qur’an, manusia memiliki potensi untuk meraih ilmu dan megembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satunya adalah ayat yang memerintahkan kepada manusia dengan cara belajar atau bertanya kepada yang ahli ilmu sebagaimana tercermin dalam surat Yunus ayat 43:
Nåk÷]ÏBur `¨B ãÝàZtƒ šøs9Î) 4 |MRr'sùr& ÏöksE }ôJãèø9$# öqs9ur (#qçR%x. Ÿw šcrçŽÅÇö7ム
Artinya: Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, Apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan. (Q.S.Yunus: 43)
Berkali-kali pula al-Qur’an menjelaskan betapa tinggi dan kedudukan orang-orang yang berilmu pengetahuan. Salah satunya tercermin dalam al-Qur’an surat al-Mujadillah ayat 11:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.al-Mujadilah: 11)
Menurut Quraish Shihab, ilmu yang dimaksud pada ayat 11 surat al-Mujadillah bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Pada sisi lain juga menunjukkan bahwa ilmu haruslah menghasilkan kassyah yakni rasa takut dan kagum kepada Allah, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu mengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk.[12]
Pada ayat yang lain Allah mulai memberikan identitas yang wajib menuntut ilmu sertai ilmu apa saja yang harus dituntut, hal ini tercermin dalam firman Allah swt:
 $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÊËËÈ  

Artinya, Tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah:122)
Menyiapkan diri untuk memusatkan perhatian dalam mendalami ilmu agama dan maksud tersebut adalah termasuk kedalam perbuatan yang tergolong mendapatkan kedudukan tinggi dihadapan Allah swt, dan tidak kalah derajatnya dari orang-orang yang berjihad dengan harta dan dirinya dalam rangka meninggikan kalimat Allah, bahkan upaya tersebut kedudukannya lebih tinggi dari mereka yag keadaannya tidak sedang berhadapan dengan musuh.[13]
Sementara itu, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini menggaris bawahi pentingnya memperdalam ilmu dan memperluas informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya mempertahankan wilayah. Bahkan pertahanan wilayah berkaitan erat dengan kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau sumber daya manusia. Sementara ulama menggarisbawahi persamaan redaksi anjuran/perintah menyangkut kedua hal tersebut. Ketika berbicara tentang perang, redaksi ayat 120 surat yang sama dimulai dengan menggunakan istilah maa kaama. Dengan juga ayat ini yang berbicara tentang pentingnya memperdalam ilmu dan penyebaran informasi.[14]
Berdasarkan keterangan ini maka ilmu yang paling wajib dipelajari adalah ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan hukum-hukum agama ( fiqh), walaupun sebenarnya kata tafaqqahu tersebut makna umumnya adalah memperdalam ilmu agama, termasuk fiqh, ilmu kalam, ilmu tafsir, tasawuf dan sebagainya ilmu yang dapat menjadi maslahat bagi dirinya dan umat secara umum. Rasulullah saw. Dalam hal ini juga menekankan kewajiban pada aspek pencarian ilmunya, tidak pada objek ilmu itu sendiri. Oleh karena itu selama ilmu itu bermanfaat bagi kemaslahatan umat terutama individu muslim untuk dunia dan akhiratnya maka menuntut ilmu itu wajib baginya dalam konteks fardu’Ain. Sebagaimana hadis Rasulullah saw:
ٍطَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya : Menuntut ilmu wajib atas setiap individu muslim (HR. Ibnu Abdilbar)
Menuntut ilmu itu adakalanya wajib 'ain dan adakalnya wajib kifayah. Ilmu yang wajib kifayah hukum mempelajarinya, ialah ilmu-ilmu yang hanya menjadi pelengkap, misalnya ilmu tafsir, ilmu hadist dan sebagainya. Sedangkan Ilmu yang wajib 'ain dipelajari oleh mukallaf yaitu untuk meluruskan 'aqidah yang wajib dipercayai oleh seluruh muslimin, yang berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan yang difardhukan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. [15]
Oleh karena itu, ilmu-ilmu seperti ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu bahasa 'arab, ilmu sains seperti perobatan, kejurusasteraan, ilmu perundangan dan sebagainya adalah termasuk dalam ilmu yang tidak diwajibkan untuk dituntuti tetapi tidaklah dikatakan tidak perlu karena ia adalah dari pada ilmu fardhu kifayah. Begitu juga dengan ilmu berkaitan tarekat ia adalah sunat dipelajari tetapi perlu difahami bahwa yangg paling utama ialah mempelajari ilmu fardhu 'ain terlebih dahulu. Tidak mempelajari ilmu fardhu 'ain adalah suatu dosa kerana ia adalah perkara yg wajib bagi kita untuk dilaksanakan dan mempelajari ilmu selainnya tidaklah menjadi dosa jika tidak dituntuti.

D.    Objek Ilmu dan Cara Memperoleh
Menurut pandangan al-Qur’an, ilmu terdiri dari dua macam. Pertama, ilmu yang diperolah tanpa upaya manusia, dinamai ‘ilm laduni seperti yang diinformasikan antara lain oleh surat al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 65:
#yy`uqsù #Yö6tã ô`ÏiB !$tRÏŠ$t6Ïã çm»oY÷s?#uä ZpyJômu ô`ÏiB $tRÏZÏã çm»oY÷K¯=tæur `ÏB $¯Rà$©! $VJù=Ïã ÇÏÎÈ  

Artinya: Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami.
Kedua, Ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai ‘ ilm kasbi, Ayat-ayat ‘ilm Kasbi jauh lebih banyak daripada yang berbicara tentang ‘ilm ladduni.[16]
Pembagian ini disebabkan dalam pandangan al-Qur’an terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak dapat diketahui malalui upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak Nampak, sebagai mana ditegaskan bekali-kali oleh al-Qur’an antara lain dalam firman-Nya:
Ixsù ãNÅ¡ø%é& $yJÎ/ tbrçŽÅÇö6è? ÇÌÑÈ   $tBur Ÿw tbrçŽÅÇö6è? ÇÌÒÈ  

Artinya: Maka aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. (Al-Haqqah: 38-39)
4 ß,è=øƒsur $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÑÈ  

Artinya: dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.(QS.An Nahl:8)
Dari ayat diatas jelaslah bahwa objek ilmu meliputi atas alam materi dan nonmateri. Sains mutakhir mengarahkan pandangan kepada alam materi, dan sebagian mereka tidak mengakui adanya realitas yang tidak dapat dibuktikan dialam materi.
Sedangkan menurut pandangan ilmuan muslim objek ilmu mencakup alam materi dan non materi. Karena itu, sebagian ilmuan muslim khususnya kaum sufi melalui ayat-ayat al-Qur’an memperkenalkan ilmu untuk menggambarkan keseluruhan realitas wujud ilahi melalui lima hal yaitu: alam nasut (alam materi), alam malakut (alam kejiwaan), alam jabarut (alam ruh), alam lahut (sifat-sifat ilahi), dan alam hahut (wujud zat ilahi).[17]
Untuk meraih pengetahuan tentang kelima hal tersebut diatas, memerlukan cara dan sarana yang digunakan. Hal ini dapat dilihat pada firman Allah swt:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  

Artinya: dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.(QS. An Nahl: 78)
Ayat ini mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu: pendengaran, penglihatan, akal serta hati. Trial and error (coba-coba), pengamatan dan perecobaan dan tes-tes kemungkinan merupakan cara-cara yang digunakan ilmuan untuk meraih pengetahuan.
Kemudian menurut Quraish Shihab, disamping mata, telinga dan pikiran sebagai sarana meraih pengetahuan, kesucian hati juga termasuk sarana yang sangat berpengaruh. Hal ini karena ilmu pengetahuan yang baik hanya dapat diterima dengan hati yang suci.[18]
Dalam perspektif islam makna belajar atau menuntut ilmu bukan hanya sekedar upaya perubahan perilaku, tetapi juga harus memperkuat akhlak sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Memperkuat akhlak artinya mencari atau mencapai ilmu yang sebenarnya dan mencapai akhlak yang sempurna.[19]
Oleh karena itu, hendaklah sebagai seorang muslim memiliki sifat yang baik yakni taqwa kepada Allah swt, sehingga Allah akan memberikan petunjuk dan hidayahnya dan menjadikannya sebagai ahli ilmu yang memiliki keutamaan baik disisi manusia maupun Allah SWT





E.     Kesimpulan
Bahwa dalam menuntut ilmu tidak mengenal waktu, usia, dan juga tidak mengenal perbedaan. Pria dan wanita punya kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu sehingga setiap orang, baik pria maupun wanita bisa mengembangkan potensi yang diberikan Allah swt, sesuai dengan fitrahnya. Karena itulah agama memandang bahwa ibadah tidak terbatas pada sholat, puasa, zakat dan haji saja, tetapi menuntut ilmu juga termasuk ibadah. Bahkan ilmu dianggap sebagai ibadah yang utama, sebab dengan ilmulah kita bisa melaksanakan ibadah-ibadah lainnya dengan benar. Tanpa ilmu pengetahuan maka ibadah yang dilaksanakan tidak bernilai apa-apa.
Menuntut ilmu itu adakalanya wajib 'ain dan adakalnya wajib kifayah. Ilmu yang wajib kifayah hukum mempelajarinya, ialah ilmu-ilmu yang hanya menjadi pelengkap, misalnya ilmu tafsir, ilmu hadist dan sebagainya. Sedangkan Ilmu yang wajib 'ain dipelajari oleh mukallaf yaitu untuk meluruskan 'aqidah yang wajib dipercayai oleh seluruh muslimin, yang berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan yang difardhukan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. 






DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawi), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008.

Ensiklopedia Islam, Tim Penyusun Ensiklopedia Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Ensiklopedi al-Qur’an, Kajian Kosakata dan Tafsirnya. Jakarta, Yayasan Bimantara, 1997.

M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, tafsir tematik atas berbagai persoalan umat, Bandung, Mizan Pustaka, 2007.

Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta, Bimantara, 1997.

M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta, Lentera Hati, 2002.
                 ,              Tafsir Al-Mishbah, Pesan, kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2002, Volume 14.
                                   Tafsir Al-Mishbah, Pesan, kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2002, Volume 5.

Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indionesia,Jakarta, Balai Pustaka, 2007.

Tohirin, “Psikologi Pembelajaran Pendidikan Islam”. Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2006.



[1] Ensiklopedia Islam, Tim Penyusun Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve), h.261
[2] M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, tafsir tematik atas berbagai persoalan umat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), h.571
[3] Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indionesia, cet.3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.42
[4] Ensiklopedi al-Qur’an, Kajian Kosakata dan Tafsirnya. (Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997), h. 150
[5] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. (Jakarta: Bimantara, 1997), h.150
[6] M.Quraish Shihab, 0p.cit. h.425
[7] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 15, h.392
[8] Ibid, h.392
[9] Ibid
[10] M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, tafsir tematik atas berbagai persoalan umat, op.cit, h.570
[11] ibid
[12]  M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2002, Volume 14, h.80
[13] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawi), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008, h. 159
[14]  M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2002, Volume 5, h. 751
[15] Ibid, h.749
[16] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, tafsir temutik atas berbagai persoalan umat,op.cit. h. 573
[17] Ibid,h.574
[18] Ibid,h.576
[19] Tohirin, “Psikologi Pembelajaran Pendidikan Islam”. (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006),h.57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar