Sabtu, 29 Oktober 2011

PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI PEMBENTUK KEPRIBADIAAN MUSLIM


PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI
PEMBENTUK KEPRIBADIAAN MUSLIM
Oleh : M.Subhan Lutfi, S.Pd.I

A.    Pendahuluan
Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam UUD. Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya untuk kasus-kasus aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek di kala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh baik ke siswanya, juga tidak kalah mentalnya. Misalnya guru tidak jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam ujian nasional (UN). Kondisi ini terus terang sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945. Memang masalah ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang tidak boleh diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa kita kelak menjadi manusia yang tidak bermoral sebagaimana saat ini sering kita melihat tayangan TV yang mempertontonkan berita-berita seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya oleh orang-orang dewasa, tapi juga oleh anak-anak usia belasan.
Melihat hal yang demikian maka sangatlah penting pembentukan akhlak yang baik dikalangan generasi muda khususnya bagi generasi muslim. Cara yang dapat ditempuh adalah melalui dunia pendidikan, dengan pemberian arahan serta pembentukan kepribadian yang positif yang tidak terlepas dari peran seorang guru atau pendidik.
Mencermati hal ini, saya mencoba memberikan beberapa gagasan untuk penguatan mutu karakter SDM sehingga mampu membentuk pribadi yang kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada peran pendidikan, terutama pendidik sebagai kunci keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun masyarakat.

B.     Pengertian Pendidikan Karakter
Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Suyanto mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara.[1] Pritchard  (1988: 467) mendefisikan karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung positif.[2]
Karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam pandangan agama terdapat akhlakul karimah (ahlak yang mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela).  Dalam akhlakul karimah tercakup 22 sifat terpuji, yaitu (1) sederhana, (2) rendah hati, (3) giat bekerja, (4) jujur, (5) memenuhi janji, (6) terpercaya, (7) konsisten/istiqomah, (8) berkemauan keras, (9) suka berterima kasih, (10) satria, (11) tabah, (12) lemah lembut, (13) ramah dan simpatik, (14) malu, (15) bersaudara, (16) belas kasih, (17) suka menolong, (18) menjaga kehormatan, (19) menjauhi syubhat, (20) pasrah kepada Allah, (21) berkorban untuk orang lain, (22) payayang.  Sementara  itu, lawan dari sifat-sifat terpuni itu termasuk akhlakul madmumah, seperti boros, sombong, malas.
Menurut  Zulhan karakter ada dua yaitu karakter positif baik (sehat) dan karakter buruk (tidak sehat). Tergolong karakter sehat yaitu  (1) afiliasi tinggi: mudah menerima orang lain sebagai sahabat, toleran, mudah berkerja sama, (2) power tinggi: cenderung menguasai teman-temannya dalam arti positif (pemimpin); (3) achieve: selalu termotivasi untuk berprestasi (4) asserte: lugas, tegas, tidak banyak bicara, (5) adventure: suka petualangan, suka mencoba hal baru. Sementara itu, karakter kurang sehat yaitu (1) nakal: suka membuat ulah, memancing kemarahan, (2) tidak teratur, tidak teliti, tidak cermat, meskipun kadang tidak disadari, (3) provokator: cenderung membuat ulah, mencari gara-gara, ingin mencari perhatian, (4) penguasa: cenderung menguasai teman-teman, mengintimidasi, (5) pembangkang: bangga kalau berbeda dengan orang lain, tidak ingin melakukan hal yang sama dengan orang lain, cenderung membangkang.[3]
Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, tanggung jawab.  Sementara itu, Suyanto (2009) berpendapat ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaannya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/amanah, diplomatis, (3) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong dan gotong royong/kerja sama, (6) percaya diri dan pekerja keras (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.[4]
Untuk Mewujudkan hal tersebut maka orientasi pendidikan islam harus berorientasi pada:
  1. pendidikan Islam harus didasarkan pada filsafat teocentris dan antroposentris sekaligus
  2. Pendidikan Islam mampu membangun keilmuan dan kemajuan kehidupan yang integratif antara nilai spritual, moral dan meterial bagi kehidupan manusia
  3. Pendidikan Islam mampu membangun kompotisi manusia dan mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetetif, inovatif berdasarkan nilai-nilai Isi.
  4. Pendidikan Islam harus disusun atas dasar kondisi lingkungan masyarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi pada masa akan datang, karena perubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan dan peluang yang harus diproses secara capat dan tepat
  5. Pembaruan pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan potensi umat yang disesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat madani
  6. Pendidikan Islam lebih menekankan dan diorientasikan pada proses pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang lebih bersifat fleksibel, menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang, dan diupayakan sebagai proses berkesinambungan serta senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
  7. Pendidikan Islam harus di arahkan pada dua dimensi, yaitu “Pertama, dimensi dialektika [horizontal] yaitu pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan manusia harus mampu mengatasi tantangan dunia sekitarnya melalui pengembangan iptek, dan Kedua, dimensi ketunduhan vertikal, yaitu pendidikan selain sarana untuk memantapkan, memelihara sumberdaya alam dan lingkungannya, juga memahami hubungannya dengan Sang Maha Pencipta, yaitu Allah Swt”[5]
Mencermati fenomena perubahan paradigma baru tersebut, maka paradigma lama pendidikan Islam yang telah terbangun sejak abad pertengahan [periode Islam], dengan mengkaji dan mempelajari teks-teks keagamaan dengan metode hafalan, bersifat mekanis, mengutamakan pengkayaan materi, sudah harus ditinggalkan untuk menuju paradigma baru pendidikan. Faisal Ismail, menyatakan bahwa pendidikan dan pengajaran dalam Islam bukanlah sekedar kegiatan untuk mewariskan harta kebudayaan dari generasi terdahulu kepada generasi penggantinya yang hanya memungkinkan bersifat reseptif, pasif, menerima begitu saja. Akan tetapi pendidikan Islam harus berusaha mengembangkan dan melatih peserta didik untuk lebih bersifat direktif, mendorong agar selalu berupaya maju, kreatif dan berjiwa membangun.



C.    Ciri Karakter SDM Indonesia
SDM merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya.
Secara lebih rinci, saya kutip beberapa konsep tentang manusia Indonesia yang berkarakter dan senantiasa melekat dengan kepribadian bangsa. Ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi (1) religious, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.[6]

D.    Menanamkan Pendidikan Karakter Di Kalangan Pendidik
Pendidikan karakter sebaiknya diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan yang holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, acting the good.   Pengetahuan tentang  kebaikan (knowing the good) mudah diberikan karena bersifat kognitif.  Setelah knowing the good perlu ditumbuhkan perasaan senang atau cinta terhadap kebaikan (feeling the good). Selanjutnya, feeling the good diharapkan menjadi mesin penggerak sehingga seseorang secara suka reka melakukan perbuatan yang baik (acting the good). Penanaman dengan model seperti itu, akan mengantarkan seseorang kepada kebiasaan berlaku baik.
Akan tetapi, dalam penanaman pendidikan karakter yang utama adalah keteladanan. Orang tua memberikan contoh perilaku yang positif kepada anak-anaknya, guru memberi contoh  kepada  anak didiknya. Sementara itu, para pemimpin memberikan teladan karakter yang baik kepada masyarakat.
Masalah keteladanan ternyata  dilakukan oleh para nabi, terutama Nabi Muhammad dalam menanamkan akhlak mulia kepada  umatnya. Dalam hal ini, Allah menyatakan  bahwa ”Sungguh  pada pribadi Nabi Muhammad terdapat teladan yang baik (uswatun hasanah)”.  Nabi-nabi yang lain seperti Nabi Ayub memiliki keteladan dalam ketabahannya menanggung berbagai penderitaan, Nabi Isa dikenal dengan kesederhanannya, Nabi Musa dikenal dengan kebeberaniannya.
Ada empat karakter yang dimiliki oleh para nabi, yaitu (1) sidik: selalu berkata yang benar; (2) amanat dapat dipercaya, (3) tablig: selalu menyampaikan tidak pernah menyembunyikan; (4) fatonah cerdas. Salah satu karakter yang sejak kecil melekat pada pribadi Muhammad adalah amanat (dapat dipercaya). Oleh karenanya,  masyarakat Arab memberikan gelar al amin  (dapat dipercaya) jauh sebelum beliau menjadi nabi.
Seorang pendidik harus seorang yang beragama dan mengamalkan agamanya. Disamping itu dia menjadi figur dalam segala aspek kepribadiannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahal (16): 43-44
!$tBur $uZù=yör& ÆÏB y7Î=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqœR öNÍköŽs9Î) 4 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ   ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  

Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahal : 43-44)
Penanaman pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai strategi. Strategi yang dapat dilakukan antara lain (1) memasukkan pendidikan karakter ke dalam semua mata pelajaran di sekolah, (2) membuat slogan-slogan atau yel-yel yang dapat menumbuhkan kebiasaan semua masyarakat sekolah untuk bertingkah laku yang baik,(3) membiasakan perlaku yang positif di kalangan warga sekolah, dan  (4) melakukan pemantauan secara kontinyu, (5)  memberikan hadiah (reward) kepada warga sekolah yang selalu berkarakter baik.[7]

E.     Perlunya Pendidikan Karakter
Berbicara pembentukan kepribadian tidak lepas dengan bagaimana kita membentuk karakter SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional dan global.[8] Tantangan regional dan global yang dimaksud adalah bagaimana generasi muda kita tidak sekedar memiliki kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter diperlukan untuk mencapai manusia yang memiliki integritas nilai-nilai moral sehingga anak menjadi hormat sesama, jujur dan peduli dengan lingkungan.
Thomas menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan (7) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat.[9]
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet, menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa. [10]
Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yang ada di pendidikan formal, non formal dan informal harus mengajarkan peserta didik atau anak untuk saling peduli dan membantu dengan penuh keakraban tanpa diskriminasi karena didasarkan dengan nilai-nilai moral dan persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik dan tokoh panutan sangat membantu membentuk karakter peserta didik atau anak.

F.     Implementasi Pendidikan Karakter
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri pendekatan holistik. Segala sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru, dan masyarakat
1.      Sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah
2.      Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
3.      Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
4.      Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
5.      Siswa-siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan
6.      Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
7.      Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah[11]
Sementara itu peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup (1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral (US Department of Education).
Mengacu pada konsep pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa anak.

G.    Peran Pendidik Dalam Membentuk Karakter SDM
Sebagai seorang pendidik muslim, kita perlu menggali kembali nilai-nilai Islam sebagai pijakan kita dalam menjalankan tugas profetik dan profesionalismenya. Guru utama yang menjadi panutan kita adalah Rasulullah saw. Beliau mengemban misi mulia dari Allah swt yang tercermin dalam surat al-Jumu'ah ayat 2 yang berbunyi :
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ  

Artinya: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Al-Jumuah : 2)
Oleh karena itu peran pendidik sangat dibutuhkan, pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Azra menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya:
1.      Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter
  1. Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
3.      Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan
4.      Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
  1. Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.[12]
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia.[13] Bahwa pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.[14]
Berdasarkan penjelasan di atas, saya mencoba mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.
Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya: (1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan, (3) konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama.[15]














H.    Kesimpulan
Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan.
Ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi (1) religious, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa
Ada empat karakter yang dimiliki oleh para nabi, yaitu (1) sidik: selalu berkata yang benar; (2) amanat dapat dipercaya, (3) tablig: selalu menyampaikan tidak pernah menyembunyikan; (4) fatonah cerdas. Salah satu karakter yang sejak kecil melekat pada pribadi Muhammad adalah amanat (dapat dipercaya).
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia.







DAFTAR PUSTAKA

Asmani, Jamal Ma’mur, “Menjadi Guru Yang Inspirtatif, Kreatif dan Inovatif”. Jogyakarta: Diva Press, 2010.

Albertus, Doni Koesoema. “Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global”. Jakarta: PT. Grasindo, 2007.

Azra, Azyumardi, “Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter Bangsa. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2006.

David H Elkind dan Sweet, Freddy. How to Do Character Education. Artikel yang diterbitkan pada bulan September/Oktober 2004.

Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. “Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah”. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa,  2001.

Lickona, Thomas , “Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility”. New York: Bantam Books, 1992.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. “Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa”. Yogyakarta : PP Muhammadiyah, 2009.

Pritchard, I. ”Character Education: Research Prospect and Problem”. American Journal of Education, 1988.

Sanaky, Hujair AH, “Studi Pemikiran Pendidikan Islam Modern”, Jurnal Pendidikan Islam, Konsep dan Implementasi”. Yogyakarta, ttp, 1999

Sairin, Weinata. “Pendidikan yang Mendidik”. Jakarta: Yudhistira, 2001.

Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. (http:// www. mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html). 05/06/2011
Zuhlan, Najib, Pendidikan Berbasis Karakter”. Surabaya :  Press Media Utama, 2011.


[1]Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. (http:// www. mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html). 05/06/2011
[2] I.Pritchard. ”Character Education: Research Prospect and Problem” (ttp.American Journal of Education, 1988). h. 467
[3] Najib Zuhlan. ”Pendidikan Berbasis Karakter”.( Surabaya:  Press Media Utama, 2011), h. 2
[4] Suyanto, op.cit,
[5] Hujair AH. Sanaky, “Studi Pemikiran Pendidikan Islam Modern”, Jurnal Pendidikan Islam, Konsep dan Implementasi. (Yogyakarta, ttp, 1999), hlm. 11 
[6] Pimpinan Pusat Muhammadiyah. “Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa”. (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2009), h. 43
[7]Doni Koesoema Albertus,. “Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global”, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), h.57
[8] Weinata Sairin. “Pendidikan yang Mendidik”. (Jakarta: Yudhistira, 2001), h.211
[9] Thomas Lickona , “Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility”. (New York: Bantam Books, 1992), h.43
[10] David H Elkind dan Sweet, Freddy. How to Do Character Education. Artikel yang diterbitkan pada bulan September/Oktober 2004.
[11] Ibid
[12] Azyumardi Azra, “Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter Bangsa). (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2006), h.37
[13] Najib Zuhlan, op.cit, h.62
[14] Jamal Ma’mur Asmani, “Menjadi Guru Yang Inspirtatif, Kreatif dan Inovatif”. (Jogyakarta: Diva Press, 2010), h. 36
[15] Fasli Jalal dan Supriadi, Dedi. “Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah”. (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa,  2001), h.49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar