Sabtu, 29 Oktober 2011

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA DINASTI SALJUQ (1055-1258 M)


PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA
DINASTI SALJUQ (1055-1258 M)
Oleh: M.Subhan Lutfi, S.Pd.I

A.     PENDAHULUAN
Bangsa Turki mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan kehudayaan Islam. Peran yang paling menonjol terlihat dalam politik ketika mereka masuk dalam barisan tentara profesional maupun dalam birokrasi pemerintahan yang bekerja untuk khalifah-khalifah Bani `Abbas. Kemudian, mereka sendiri membangun kekuasaan yang sekalipun independen tapi masih tetap mengaku  loyal kepada khalifah Bani 'Abbas. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya Bani Saljuq (1038-1194)
Membicarakan Bani Saljuq terkadang membawa kita kepada bahasan yang lebih jauh dari hanya seputar Bani Saljuq itu sendiri – karena ia merupakan awal dari gelaran kesultanan yang memiliki sejarah panjang dalam pergulatan kekuasaan politik Islam yaitu Turki Utsmani, bagaimanabangsa Turki tersebut mengembangkan kekuasaan di wilayah asalnya, perjalanan bangsa itu di kawasan-kawasan lain. Kekuasaan Bangsa Turki di luar pusat pemerintahannya menjadi tak terelakkan karena kekuatan pengaruh bangsa itu dapat dilihat sejauh mana efektivitas mereka dalam peruhahan politik, sosial dan ekonomi masyarakat di kawasan lain.
Munculnya dinasti Turki Islam terjadi pada saat dunia Islam mengalami fragmentasi kekuasaan pada periode kedua dari pemerintahan `Abbasiyah (kira-kira ahad ke-9). Sebelum itu, sekalipun telah ada kekuasaan Bani umayah di Andalusia (755-1031) dan Bani Idris di bagian barat Afrika Utara (788-974), fragmentasi itu semakin menjadi-jadi sejak abad ke-9. Pada ahad itu muncul berhagai dinasti, seperti Bani Aghlah di Kairawan (800-909), Bani Thulun di Mesir (858-905), bani Saman di Bukhara (874-1001), dan Bani Buwayhi di Baghdad dan Syiraz (932-1000).[1]
Jika benar bahwa bangsa Turki Muslim yang pertama-tama membangun dinasti adalah Bani Saljuq, yang mulai tampak pengaruhnya di Baghdad sehagai pusat dunia Islam pada tahun 1038 dan baru lenyap pada tahun 1307 di Rum, maka sesungguhnya dinasti itu herkuasa hanya di sebagian kecil wilayah Islam. Pada saat yang sama telah lahir dinasti-dinasti lain, seperti al-Murabithun yang berpusat di Marakesy dan Seville (1056-1147), Bani Ziri di Kairawan (990-1150), Fathimiyah di Kairo(969-1171), Ghaznawiyah di Ghaznah (962-11ti6), al-Muwahhidun di Seville dan Marakesy (1145-1269) dan Ayyuhiyah di Kairo (1171-1250) .
Berkaitan dengan hal tersebut, maka kajian tentang Bani Saljuq dibatasi pada aspek pendidikan yang dikembangkannya, walaupun subtansial tidak mungkin dapat dihindari pembahsan yang berkaitan asal-asul Bani Saljuq, wilayah kekuasaan dan waktu mereka berkuasa. Dalam hal pendidikan pada masa Bani Saljuq, disamping membicarakan visi dan misi, dibahas pula landasan pemikiran, pola pendidikan, kurikulum dan pengaruhnya terhadap pembentukan kualitas intelektual Muslim pasca transformasi Ilmu dan adaptasi budaya antara umat Islam dengan budaya Persia, Romawi-Yunani serta India pada masa awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

B.     MASA KEKUASAAN DINASTI SALJUQ
Bani Saljuq merupakan kepanjangan dari kekhalifahan Bani Abbasiyyah di Baghdad, dinasti ini merupakan periode ke 2 setelah Bani Abbasiyyah berhasil menumbangkan Dinasti Buwaihi dan Dinasti Ghaznah. Dinasti saljuq didirikan oleh Tughri Beg, yang bertahan memerintah wilayah kekuasaannya selama sekitar dua abad. Kekhalifahan Abbasiyyah  resmi berdiri 447-656 H/1055-1258 M dan menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Thawa'if) Abbasiyyah yang terakhir, sebab pasca kehancuran dinasti saljuq ini, kekhalifahan Abbasiyyah runtuh total dan berakhirlah masa kejayaan Islam. Wilayah ini sebelum dikuasai Dinasti Saljuq merupakan wilayah kekuasaan Bani Buwaihi yang menganut aliran Syi'ah. Pusat pemerintahannya berada di kota Naisaphur yang kemudian di pindah ke wilayah Ray di Iran, dan selanjutnya kota Baghdad difungsikan sebagai kota keagamaan dan kerohanian.[2]
Jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Saljuq Ibn Tuqaq bermula dari perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ketika al-Malik al- Rahim memegang jabatan Amir al-Umara, kekuasaan itu dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan al-Basasiri. Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, al-Basasiri berbuat sewenang-wenang terhadapap Al-Malik al-Rahim dan Khalifah al-Qaimdari Bani Abbas; bahkan dia mengundang Khalifah Fathimiyah, (al-Mustanshir), untuk menguasai Baghdad. Hal ini mendorong khalifah meminta bantuan kepada Alp Arselan Rahimahullah dari dinasti Bani Saljuq yang berpangkalan di negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M/447 H pimpinan Saljuq itu memasuki Baghdad.
Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Thugril Bek Rahimahullah. Pemimpin Saljuq terakhir ini berhasil mengalahkan Mas'ud al-Ghaznawi, penguasa dinasti Ghaznawiyah, pada tahun 429 H/1036 M, dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan. Setelah keberhasilan tersebut, Thugril memproklamasikan berdirinya dinasti Saljuq. Pada tahun 432 H/1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Di saat kepemimpinan Alp Arselan inilah, dinasti Saljuq memasuki Baghdad menggantikan posisi Bani Buwaih. Sebelumnya, Thugril Rahimahullah berhasil merebut daerah-daerah Marwadan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Balkh, urjan, Tabaristan, Khawarizm, Rayy, dan Isfahan.[3]
Sepeninggal Thugril Bek Rahimahullah (455 H/1063 M), dinasti Saljuq berturut-turut diperintah oleh Alp Arselan Rahimahullah (455-465 H/1063-1072), Maliksyah (465-485 H/1072-1092), Mahmud Al-Ghazi (485-487 H/1092-1094 M), Barkiyaruq (487 -498 H/1 094-1103), [ [Maliksyah II]] (498 H/ 1103 M), Abu Syuja' Muhammad (498-511 H/11 03-1117 M),dan Abu Harits Sanjar (511-522H/1117-1128 M) . Pemerintahan Saljuq ini dikenal dengan nama al-Salajiqah al-Kubra (Saljuq Besar atau Saljuq Agung). Disamping itu, ada beberapa pemerintahan Saljuq lainnya di beberapa daerah sebagaimana disebutkan terdahulu. Pada masa Alp Arselan Rahimahullah perluasan daerah yang sudah dimulai oleh Thugril Bek Rahimahullah dilanjutkan ke arah barat sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia Kecil, yaitu Bizantium.[4]
Pada masa Sulthan Malik syah wilayah kekuasaan Dinasti Saljuq ini sangat luas, membentang dari Kashgor, sebuah daerah di ujung daerah Turki, sampai ke Yerussalem. Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian:
1.      Saljuq Besar yang menguasai Khurasan, Rayy, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia merupakan induk dari yang lain. Jumlah Syekh yang memerintah seluruhnya delapan orang.
2.      Saljuq Kirman berada di bawah kekuasaan keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn Mikail ibn Saljuq. Jumlah syekh yang memerintah dua belas orang.
3.      Saljuq Iraq dan Kurdistan, pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din Mahmud. Saljuq ini secara berturut-turut diperintah oleh sembilan syekh.
4.      Saljuq Syria, diperintah oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn Mikail ibn Saljuq, jumlah syekh yang memerintah lima orang.
5.      Saljuq Ruum, diperintah oleh keluarga Qutlumish ibn Israil ibn Saljuq dengan jumlah syeikh yang memerintah seluruhnya 17 orang.[5]
Disamping membagi wilayah menjadi lima, dipimpin oleh gubernur yang bergelar Syeikh atau Malik itu, penguasa Bani Saljuq juga mengembalikan jabatan perdana menteri yang sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan ini membawahi beberapa departemen.Pada masa Alp Arselan Rahimahullah, ilmu pengetahuan dan agama mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada zaman Sultan Maliksyah yang dibantu oleh perdana menterinya Nizham al-Mulk. Perdana menteri ini memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang Nizhamiyah. Menurut Philip K. Hitti, Universitas Nizhamiyah inilah yang menjadi model bagi segala perguruan tinggi di kemudian hari.
Setelah Sultan Maliksyah dan perdana menteri Nizham al-Mulk wafat Saljuq Besar mulai mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan diantara anggota keluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan diri dari pusat. Konflik-konflik dan peperangan antar anggota keluarga melemahkan mereka sendiri. Sementara itu, beberapa dinasti kecil memerdekakan diri, seperti Syahat Khawarizm, Ghuz, dan al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain, sedikit demi sedikit kekuasaan politik khalifah juga kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan dinasti Saljuq di Irak berakhir di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/l199 M.
Keberhasilan Bani Saljuq dalam mempertahankan kekuasaannya, tak lepas dari para wazir (pembantu sulthan/menteri) yang senantiasa loyal dan patuh terhadap sulthan serta kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Diantara mereka yang telah berjasa dalam membangun dan mempertahankan dinasti Bani saljuq adalah :
1.      Abu Muhammad bin Muhammad Fakhrul, Wazir pada masa Sulthanal-Qa'im.
2.      Abu Syarwan bin Khalid al-Qasyani, Wazir pada masa Sulthan al- Mustarsyid.
3.      Ibnu al-Attar, ia menjadi Wazir pada masa al-Nasir.
4.      Abu Nasr Muhammad bin Manshural-Kundari, Wazir pada masa Sulthan Tghrul Beg dan Alb Arsalam.
5.      Tajuddin Abu al-Ghanayim, Wazir pada masa Sulthan Sanjar.
6.      Ali bin al-Hasan al-Tughra, Wazir pada masa Sulthan Sanjar.
7.      Sa'ad bin Ali bin Isa, Wazir pada masa Sulthan Mahmud.
8.      Al-Ustadz al-Tughra'i, Wazir pada masa Sulthan Mas'ud bin Muhammad
di Irak.
9.      Nizam al-Mulk, Wazir Pada masa Sulthan Sultan Malik Syah[6]

C.     PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA DINASTI SALJUQ
1.      Pendiri Madrasah Nidzamiyyah
Zaman kaum Saljuq banyak terjadi kebangkitan pikiran yang pesat, yang dasarnya telah dirintis oleh nizamul Mulk wazir kepada alb  arislan dan maliksyah. Wazir yang berilmu pengetahuan ini telah mendirikan sekolah-sekolah yang menggunakan namanya yaitu Nizamiyah. Sekolah-sekolah tersebut terdapat ditempat-tempat berikut: Baghdad, Baikh, Nisabur, Harat, asfahan, basrah, marwu, amal dan mausil. Menurut as-subki, nizamul mulk mempunyai sekolah disetiap kota di Iraq dan di Khurasan[7]
Nizam al-Mulk adalah seorang perdana menteri Dinasti Salajikah (Seljuk) pada masa pemerintahan Sultan Alp Arslan dan Sultan Maliksyah. Nama aslinya Abu Ali al-Hasan bin Ali bin Ishaq at-Tusi. Dia pernah ke Nisabur dan menuntut ilmu pada ulama’ Mazhab Syafi’i, Hibatullah al-Muwaffaq. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintahan Gaznawi di Tus, Khurasan. Ketika sebagian besar Khurasan jatuh ke tangan pasukan Salajikah, ayahnya dengan membawa Nizam al-Mulk lari ke Khusrawijrd dan seterusnya ke Gazna. Di Gazna, Nizam al-Mulk bekerja pada sebuah kantor pemerintah Mahmud Gaznawi.[8]
Namun tiga atau empat tahun kemudian ia meninggalkan Gazna dan menuju ke daerah kekuasaan Salajikah. Pada mulanya ia bekerja di Balkh yang dikuasai Salajikah (tahun 432 H/1040-1041 M), kemudian pindah ke Marw. Kariernya meningkat dengan cepat sehingga ia ditarik ke istana Sultan Arp Arslan dengan perdana menterinya Abu Ali Ahmad bin Syazan. Ketika perdana menteri ini meninggal dunia, Nizam al-Mulk ditunjuk oleh Sultan sebagai perdana menterinya.
Dalam jabatannya sebagai perdana menteri ini ia menunjukkan kecakapannya sebagai negarawan yang terpercaya. Untuk memelihara stabilitas negara ia menasihatkan Sultan agar memberi lapangan pekerjaan kepada pengungsi-pengungsi Turki yang datang ke Persia (Iran) akibat kemenangan Dinasti Salajikah, dan meningkatkan kekuatan tempur angkatan bersenjata Salajikah serta gerak cepatnya untuk menumpas pemberontakan, tetapi pemberontak yang menyerah harus diampuni. Kemudian dinasti juga harus mempertahankan penguasa-penguasa lokal, baik Syiah maupun Sunni, dan menunjuk keluarga Bani Seljuk sebagai gubernur-gubernur. Nizam al-Mulk juga bertindak menghindari perebutan kekuasaan setelah meninggalnya sultan, dengan cara mengumumkan dan menunjuk Maliksyah sebagai putra mahkota yang akan menggantikan sultan. Hubungan dengan Khilafah Abbasyiah sebagai penguasa tertinggi dunia Islam ketika itu juga dijalin dengan baik oleh Nizam al-Mulk sehingga ia mendapat penghargaan dari Khalifah al-Qa’im dari Abbasyiah berupa gelar Qiwam ad-Din (Pendukung Agama) dan Radi Amir al-Mu’minin (yang meridhai dan pemimpin orang-orang beriman).
Nizam al-Mulk tetap menjadi perdana menteri Dinasti Salajikah, bahkan setelah Alp Arslan terbunuh pada tahun 165 H/1072 M dan digantikan oleh Maliksyah. Perannya pada masa Sultan Maliksyah bertambah besar dibanding sebelumnya. Ia dipercaya oleh Sultan Maliksyah, yang ketika naik tahta berumur 18 tahun, untuk mengatur pemerintahan dan menjalankan keputusan politik. Oleh Sultan ia diberi gelar Ata Beq, artinya amir yang dianggap ayah. Ia tetap menjalankan politik kerjasama dan taat kepada Khalifah Abbasyiah, diantaranya dengan mengawinkan sorang putrinya kepada Khalifah Abbasyiah, ketika itu al-Muqtadi bin Amr Allah.
Nizam al-Mulk juga dikenal sebagai perdana menteri yang berpaham Asy’ariyah dan mengusahakan penyebarannya melalui madrasah-madrasah di beberapa kota dalam wilayah Salajikah. Madrasah terkenal yang didirikannya adalah Madrasah Nidzamiyyah di Baghdad, yang diresmikan pada tahun 459 H/1067 M. menurut Philip K. Hitti, Madrasah Nidzamiyyah merupakan contoh awal dari perguruan tinggi yang menyediakan sarana belajar yang memadai bagi para penuntut ilmu. Diantara ulama’ yang mengajar di Madrasah Nidzamiyyah adalah Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, Syekh Abu Nasr bin as-Sabbagh dan Syekh Abu Mansur bin Yusuf bin Abdul Malik. Cabang-cabang Nidzamiyyah kemudian juga didirikan di hampir kota di Irak dan Khurasan .[9]
Disebutkan dalam al-Kamil fi at-Tarikh (Sejarah Lengkap) bahwa Nizam al-Mulk adalah seorang alim, agamawan, dermawan, adil, penyantun, suka memaafkan orang yang bersalah, banyak diam, majelisnya ramai didatangi para qari, faqih, ulama dan orang-orang yang suka kebaikan dan kebajikan. Ia juga dikatakan menyampaikan hadits di Baghdad, Khurasan dan kota lainnya dengan alasan ikut berpartisipasi menyebarkan hadits Nabi SAW, sekalipun ia mengakui bahwa ia bukan ahli hadits. Dikatakan pula ia senang menjamu dan menghibur orang-orang fakir miskin. Pada tahun 479 H (1086-1087 M) ia menghapuskan khumus (pajak yang tidak dikenai sanksi syariat), dan meningkatkan sarana dan prasarana bagi mereka yang menunaikan ibadah haji. Setelah Hedzjaz kembali kepada kekuasaan Abbasyiah dari kekuasaan Fatimiyah pada tahun 468 H/1076 M, ia mengamankan jalur perjalanan haji dari Irak ke Tanah Suci dengan memberantas perampok-perampok yang mengancam jama’ah haji. Selain itu, ia memprakarsai perluasan Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah, serta pendirian tempat-tempat khusus bagi para abid, zahid dan faqih, serta pendirian rumah sakit di Nisabur . [10]
Kekuasaan daulat Bani Saljuq berseberangan dengan kekuasaan Daulat Fatimiyah dalam aspek theology – Daulat Saljuq lebih cenderung mengembangkan pemehaman theology Suni dalam hal ini theology Asy'ariyah, sedangkan daulat bani Fathimiyah lebih focus kepada pengembangan theology Syi'ah. Kedua daulat tersebut menjadi lembaga pendidikan sebagai pusat penyebaran paham theology dan pengaruh politik dan social dalam kehidupan mereka – walaupun pada akhirnya universitas al Azhar Cairo menjadi lebih terbuka dengan diajarkannya pula theology sunni.
Setahun sebelum meninggal, pada tahun 484 H/1091 M ia menulis kitab Siyaset-Name (buku mengenai politik) tentang siasat pemerintahan, berisi 50 bab nasihat yang digambarkan melalui anekdot-anekdot sejarah. Pada tahun berikutnya, ia menambah 11 bab tentang bahaya yang mengancam negara utamanya dari kaum Qaramithah Ismailiyah. Ia mengingatkan bahaya yang mengancam keutuhan Salajikah yang datang dari kaum Qaramithah yang pada tahun 483 H (1090-1091 M) menyerbu kota Basra, dan bermarkas di benteng yang kokoh di Alamut. Kaum ini mempunyai pasukan pembunuh yang disebut Hasyasyin dan dipimpin oleh Hasan bin Sabbah, yang bertujuan menghidupkan Fatimiah. Seorang pasukan Hasan bin Sabbah, yang menyamar sebagai sufi, berhasil membunuh Nizam al-Mulk di Sihna, Nahawand, ketika ia dalam perjalanan dari Isfahan ke Baghdad. Nizam al-Mulk terbunuh pada tanggal 10 Ramadhan 485 H/14 Oktober 1092. . Ia meninggal kira-kira 150 Tahun sebelum hancunyA kota Bagdad oleh serangan bangsa Mongol.[11]
2.      Perkembangan Lembaga Pendidikan Nidzamiyyah
Sebagaimana diketahui, bahwa sebelum berdirinya Madrasah sebagai lembaga pendidikan, dalam agama Islam telah dikenal tempat belajar berupa Masjiddan Kuttab. Kuttab merupakan tempat belajar yang dikhususkan pada para pelajar Islam yang masih kecil, sebab dalam kuttab ini hanya diajarkan cara membaca dan cara menulis.
Seiring dengan luasnya wilayah kekuasaan Islam, semakin banyak pula anak-anak muda Islam yang ingin belajar yang tentunya membutuhkan tempat memadai untuk menampung mereka. Atas dasar itulah di dirikan sebuah Madrasah.
Istilah madrasah pertama kali lahir di Naisapur berkat ‘sentuhan’ Syekh al-Baihaqi5. Kemudian dinasti Bani Saljuq pada masa Sulthan Malik Syah dengan Wazir Nidzam al-Mulk (465-485 H) membangun sebuah Madrasah dengan nama madrasah Nidzamiyyah, yang diambil dari nama pendirinya, Nidzam al-Mulk. [12]
Motif pendirin Madrasah ini menurut Ahmad Syalabi (1995) ialah karena dua hal. Pertama motif Politik. Dengan adanya madrasah ini, dinasti Saljuq bisa mengkontrol semua daerah dengan mudah, karena sistem yang dipakai Nidzamiyyah adalah sentralistik dari pusat kedaerah atau dari atas ke bawah. Motif kedua adalah ideologi/madzhab. Seperti keterangan diatas, bahwa Dinasti Buwaihi yang menganut Syi'ah serta sisa-sisa aliran Mu'tazilah telah ada sebelum Bani saljuq berdiri, pendirian madrasah Nidzamiyyah juga karena motif untuk menyebarkan aliran Sunni Syafi'iyyah.
Sebelum berdirinya Madrasah Nidzamiyyah di Baghdad, paling tidak ada empat madrasah besar di Nishapur, yaitu Madrasah Baihaqiyyah, Madrasah Assa’diyyah yang dibangun oleh Amir Nasr bin Subuktakin, Madrasah Abu Sa’ad al-Astarabadi dan Madrasah yang didirikan untuk Abu Ishaq al-Isfarayini .[13]
Madrasah Nidzamiyyah adalah sebuah lembaga pendidikan yang didirikan pada tahun 1065-1067 oleh Nizam al-Mulk. Madrasah Nidzamiyyah ini pada mulanya hanya ada di kota Baghdad, ibu kota dan pusat pemerintahan Islam pada waktu itu. Madrasah Nidzamiyyah ini didirikan dekat pinggir sungai Dijlah, di tengah-tengah pasar selasah di Baghdad. Mulai dibangun pada tahun 457 H/1065 M) dan selesai dibangun pada tahun 459 H (dua tahun lamanya baru selesai) . Pada masa itu, madrasah tersebut dicatat sebagai tempat pendidikan yang paling masyhur. Kemudian Nizam al-Mulk mengembangkan madrasah tersebut dengan membuka dan mendirikan madrasah serupa di berbagai kota, baik di wilayah barat maupun timur dari daerah kekuasaan Islam. Diantaranya didirikan di kota-kota Balkh, Nisabur, Isfahan, Mosul, Basra dan Tibristan. Oleh karena itu, kota-kota tersebut kemudian menjadi pusat-pusat studi keilmuan dan menjadi terkenal di dunia Islam pada masa itu. Para pelajar berdatangan dari berbagai daerah untuk mencari ilmu di madrasah-madrasah Nidzamiyyah tersebut. [14]
Kesungguhan Nizam al-Mulk dalam membina madrasah-madrasah yang didirikannya itu tercermin pada kesediaannya menyisihkan waktunya untuk melakukan kunjungan ke madrasah-madrasah Nidzamiyyah di berbagai kota tersebut. Disebutkan, bahwa dalam kesempatan kunjungannya tersebut, ia dengan penuh perhatian ikut menyimak dan mendengarkan kuliah-kuliah yang diberikan, sebagaimana ia juga kadang ikut mengemukakan pikiran-pikirannya di depan para pelajar di madrasah itu.
Lembaga pendidikan Islam yang pertama menerapkan sistem yang mendekati sistem pendidikan yang dikenal sekarang adalah madrasah-madrasah Nidzamiyyah tersebut. Kurikulumnya berpusat pada Al-Qur’an (membaca, menghafal dan menulis), sastra Arab, sejarah Nabi SAW dan berhitung, dengan menitikberatkan pada madzhab Syafi’i dan sistem teologi Asyariyah. Seorang tenaga pengajar di Nidzamiyyah selalu dibantu oleh dua orang pelajar (mahasiswa) yang bertugas membaca dan menerangkan kembali kuliah yang telah diberikan kepada mahasiswa yang ketinggalan (asistensi). Sistem belajar di Madrasah Nidzamiyyah adalah : tenaga pengajar berdiri di depan ruang kelas menyajikan materi-materi kuliah, sementara para pelajar duduk dan mendengarkan di atas meja-meja kecil (rendah) yang disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan dialog (tanya-jawab) antara dosen dan para mahasiswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan tinggi.[15]
3.      Nidzamiyyah; Tujuan Dan Pola Pendidikannya
a.      Tujuan pendirian Madrasah Nidzamiyyah
Madrasah ini boleh dilihat sebagai suatu reaksi terhadap gerakan Syiah di Arab belahan barat atau juga terhadap rekayasa lembaga pendidikan Hanafiyyah yang sudah mapan sebelumnya di Nishapur. Betapa pun, berdirinya Madrasah Nidzamiyyah merupakan satu symbol kemenangan Sunni dan juga merupakan salah satu cara manis Nizam al-Mulk dalam menangani konflik-konflik intrernal masyarakat yang ada.
Berdasarkan asumsi ini, tidaklah berlebihan jika disimpulkan lebih jauh bahwa tujuan madrasah ini paling tidak mempunyai dua point, yakni untuk memperkuat idiologi Syafi’i-Asy’ari di satu sisi dan membendung serangan dari pihak lain, seperti dari Hanbaliyyah, Hanafiyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah di sisi lain. Untuk mendukung roda pemerintahan Nizam adalah satu kemungkinan, tetapi hal itu tampaknya lebih merupakan strategi Nizam sendiri daripada tujuan madrasah sebagai sebuah lembaga.
Bagaimana lembaga pendidikan ini mendorong ajaran-ajaran Syafi’i-Asy’ari terbukti dengan hadirnya sejumlah tokoh kenamaannya, seperti Abu Ishaq al-Shirazi, al-Ghazali dan tokoh-tokoh shaleh lainnya. Di samping satu pusat Madrasah Nidzamiyyah di Baghdad, paling tidak masih ada 9 Madrasah Nidzamiyyah lainnya yang tersebar dari Jazirah ibn Umar sampai ke Nishapur . Keberhasilan pengajaran madrasah-madrasah ini bias diketahui dari laporan Abu Ishaq al-Shirazi yang menyatakan bahwa selama melakukan perjalanan dari Baghdad sampai Khurasan, ia menemukan semua murid-muridnya (Syafi’iyyah) sudah menduduki jabatan-jabatan penting, seperti qadli, mufti atau khatib .[16]
Madrasah Nidzamiyyah di Nishapur dibangun untuk ulama kenamaan Juwayni, Imam al-Haramayn. Tokoh Syafi’i-Ash’ari ini menjadi lebih radikalkarena dia pernah diasingkan oleh al-Kunduri. Juwayni, tokoh sentral MAdrasah Nidzamiyyah Nishapur, adalah contoh menarik untuk memahami bagaimana madrasah ini bertujuan mempertahankan ajaran-ajaran Ash’ariyyah. Kritiknya yang tajam terhadap etika Mu’tazilah dapat dibaca dalam kitabnya al-Irshad ila Qawati’ al-Adilla fi Ushul al-I’tiqad. Masih menjadi tanda Tanya apakah Madrasah Nidzamiyyah Nishapur dan Baghdad identik, serta apakah karyanya tersebut merupakan representasi institusinya atau hanya ide-ide pribadinya. Tetapi, yang jelas ada hubungan definitive antara dua lembaga itu, juga posisinya sebagai orang pertama di madrasah ini tentunya berpengaruh besar terhadap potret lembaga tersebut .[17]
Al-Ghazali adalah contoh lain yang menraik untuk memahami bagaimana madrasah ini tidak hanya menyensor Mu’tazilah, tetapi juga filsuf. Kehadirannya di Madrasah Nidzamiyyah Baghad begitu lama (sekitar 25 tahun) sehingga tidak diragukan lagi bahwa dia memberi corak tersendiri terhadap lembaga ini. Absennya ilmu-ilmu non agama di lembaga ini, yang dipegang kuat oleh Mu’tazilah dan para filsuf, barangkali tidak disebabkan oleh sosok al-Ghazali karena ia datang terlambat. Tetapi, pengabaian terhadap ilmu-ilmu sekuler adalah tipikal bagi madrasah ini, persis dengan apa yang dilakukan al-Ghazali di akhir hayatnya. Betapapun, guru adalah sebuah personifikasi dari sebuah lembaga dalam masyarakat tradisional. Dengan demikian, sulitlah membedakan antara guru yang benar-benar fungsional dengan madrasah itu sendiri.
Madrasah ini secara otomatis juga melindungi idiologinya dari pengaruh Syiah. Hal ini ma’qul karena pada masa yang sama Dinasti Fatimiyah di Mesir sedang berjaya, juga dakwah militant dari Isma’iliyyah ada di mana-mana, salah satu dakwahnya menggunakan media pendidikan dengan mendirikan universitas Al-Azhar
b.      Guru dan Murid
Madrasah Nidzamiyyah merupakan lembaga pendidikan yang terstruktur, manajemen dan administrasinya sangat tertata dengan baik. Dengan sistem sentralistik, semua kurikulum, metode pembelajaran, sistem belajar, pengangkatan guru dan semua keperluan madrasah diatur oleh Pusat. Hal itu menjadikan tidak sembarangan orang bisa menjadi guru di Madrasah Nidzamiyyah, karena pusat melakukan seleksi yang sangat ketat.
Menurut Toha Hamim (2007) jangankan melamar menjadi guru, melamar untuk menjadi murid-pun harus melalui seleksi yang tidak mudah, sehingga pelajar yang diterima Madrasah Nidzamiyyah adalah mereka yang betul-betul handal. Bahkan disebutkan, bahwa Imam al-Ghazali baru bisa masuk ke Madrasah Nidzamiyyah setelah umur 21 tahun dengan proses seleksi dan tes masuk yang sangat ketat, sehinga saat itu Madrasah Nidzamiyyah betul-betul menjadi madrasah yang favorit.[18]
Para pelajar Madrasah Nidzamiyyah dimanjakan dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, terlebih bagi mereka yang berprestasi. Aliran beasiswa sangat besar dari pemerintah siap menjamin kesejahteraannya Diantara fasilitas yang disediakan di Nidzamiyyah adalah perpustakaan yang menyediakan buku sebanyak 6000 judul.
Para guru atau Syech pun mendapat perhatian khusus. Pihak Negara memberikan gaji yang sangat besar pada mereka. Guru pada saat itu dapat diklarifikasikan sebagai berikut :
1)      Al-Ustadz bil Kursi (Guru Besar yang memiliki gelar Profesor Doktor, guru Senior yang sudah teruji keilmuannya serta sudah mendapat gelar kehormatan). Disamping mendapat dana pensiun, Negara juga menjamin penuh kehidupan keluarga mereka.
2)      Al-Ustadz (guru dibawah al-Ustadz bil Kursi), mereka juga menerima gaji yang tidak sedikit dari pemerintah.
3)      Al-Ustadz al-Muntasib (Asisten Dosen/asisten Guru Besar yang senantiasa mendampingi Mahasiswa disaat menghadapi kesulitan dalam belajar), Negara juga memberikan mereka gaji.
4)      Al-Mudarris (guru, tenaga pengajar yang belum mendapat gelar Doktor),
yang juga digaji oleh Negara.[19]
Di antara Guru Besar Universitas Nnidzamiyah adalah Imam Haramain, tempat di mana Imam al-Ghazali pernah menimba ilmu. Ia dijuluki Imam Haramain karena pernah tinggal di dua kota suci, Makkah dan Madinah.
Ulama ini bernama lengkap Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwanini An-Nisaburi. Dia dilahirkan di Bustanikan, Nisabur, pada 12 Pebruari 1058. Pendidikan pertamanya didapatkan dari ayahnya yang bernama Syekh Abdullah, seorang keturunan Arab berdarah bangsawan. Di samping itu, Al-Juwaini juga menimba ilmu di sekolah agama yang berada di wilayah tempat tinggalnya .
Setelah beberapa lama, Al-Juwaini memutuskan untuk meninggalkan Nisabur dan pergi ke Baghdad, terutama untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Di sana ia pun menerima pengajaran ilmu agama dari beberapa ulama terkemuka. Berkat bimbingan para guru dan keinginannya untuk maju, Al-Juwaini tumbuh menjadi seorang terpelajar yang menguasai beberapa ilmu. Setelah beberapa tahun tinggal di kota ilmu itu, ia lalu pindah ke Makkah serta Madinah, selain untuk menambah bekal ilmu juga mulai mengajar. Selama lebih kurang empat tahun Al-Juwaini menetap di dua kota suci tersebut.[20]
Nama Al-Juwaini lambat laun dikenal di kalangan ulama dan pengajar ilmu agama di Makkah serta Madinah. Ini lantaran ditunjang kemampuan pengua-saan keilmuaannya yang mumpuni. Hingga selanjutnya, namanya sampai ke telinga Perdana Menteri Nizam al-Mulk, penguasa dan pendiri Madrasan Nidza-miyyah di Nisabur, tempat kelahirannya.[21]
Secara pribadi, Nizam al-Mulk meminta kesediaan Al-Juwaini untuk kembali ke negerinya dan menjadi tenaga pengajar di madrasah tadi. Permintaan ini pun disanggupi oleh Al-Juwaini sebagai bentuk sumbangsihnya dalam memajukan pendidikan di negeri sendiri. Madrasah Nidzamiyyah pun kian diperhitungkan di kalangan terpelajar Timur Tengah. Terlebih ketika Imam al-Ghazali diketahui pernah menimba ilmu di sana dan tercatat merupakan lulusan perguruan ini yang diasuh Juwaini.
Pemuka ulama ahlusunnah wal jamaah dan pengikut Imam Abu Hasan al-Asy’ari ini juga disebut Abdul Ma’ali untuk menunjukkan keutamaannya sebagai ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat. Diya ad-Din, yang berarti cahaya agama adalah gelar lain yang diberikan kepada al-Juwaini karena kelebihannya dalam menerangi hati dan pikiran para pembela akidah Islam, yang karenanya menangkis serangan para pengikut golongan sesat yang telah terjerumus dalam kegelapan.
Al-Juwaini juga menonjol di kalangan ulama Asy’ariyah karena memiliki metode yang khas dalam membela paham Sunni. Dia berpendapat, akidah yang benar adalah yang didasarkan pada akal dan naql serta kombinasi antara keduanya. Akal itu cahaya Allah yang sifatnya fitrawi sebagai tanad kecintaan Allah kepada kepada manusia dan untuk menjadi media bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan an-naql adalah semata-mata perkara daya serap pendengaran yang wajib diyakini kebenarannya tanpa memerlukan pembuktian akal atasnya. Karena pendiriannya tersebut, Al-Juwaini banyak disebut sebagai generasi keempat dari pemuka dan ulama Asy’ariyah, sejajar dengan Al-Baghdadi dan Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi .
Pandangannya bahwa akal dan penalaran akan sanggup mengantar manusia kepada keyakinan mantap membawanya pada pendirian bahwa penggunaan penalaran dalam soal agama adalah wajib menurut syarak. Karena kekhasan metodenya itu pula maka ia tidak selalu mengikuti pendapat para pendahulunya, sampai Imam Abu Hasan Asy’ari sekalipun.
Di samping sebagai pengajar dan ahli ilmu agama, Al-Juwaini adalah pula seorang penulis yang produktif. Pandangan dan pendapatnya mengenai suatu persoalan agama kerap diungkapkannya dalam bentuk karya tulis yang meliputi beberapa cabang keilmuan. Kitab-kitab Karya Al Juwain, misalnya Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Argumentasi dalam Usul Fikih), Al-Waraqat (Sehelai Kertas) dalam bidang Fikih, Nihayat al-Matlab fi Dirayat al-Mazhab (Rujukan yang Tuntas dalam Ilmu Mazhab) dalam bidang Ilmu kalam, Al-Kamil fi-Ikhtisar asy-Syamil (Kitab yang Sempurna dalam Ikhtisar yang Mencakup) dan Risalah fi Usul ad-Din (Risalah Tentang Dasar Agama) * Nidzamiyyah fi al-Arkan al-Islamiyah (Sistematika Rukun-Rukun Islam) dalam bidang akidah . Ulama ini meninggal dunia di Bustanikan pada tanggal 20 Agustus 1085. Sampai akhir hayatnya, ia dikenal sebagai pakar ilmu fikih, ushul fikih, dan ilmu kalam. Kitab karyanya tetap dipelajari hingga saat ini.
Di samping Imam Haramain atau Abdul Ma'ali Al Juwaini, terdapat ulama-ulama besar Islam yang pernah mengajar di Madrasah Nidzamiyah, di antaranya adalah : Syekh Imam Abu Ishaq al-Syerozy, Imam al-Qoswaini, Imam Ibnul jauzi, Syekh Abu Nasr as-Sabbagh, Abu Abdullah at-Tabari, Abu Muhammad asy-Syirazi, Abu Qasim al-Alawi, At-Tibrizi, Al-Qazwini, Al-Fairuzabadi, Imam al-Ghazali
Itulah para ulama yang menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nidzamiyyah, mereka adalah para ilmuan handal yang teruji kemampuannya dalam bidang mereka masing-masing. Karena gaji yang besar inilah, para guru betul-betul perhatian terhadap pendidikan dimana mereka mengajar, sebab pemikirannya tidak terpecah untuk mencari penghasilan lain.
Gaji para Dosen Madrasah Nidzamiyyah sangatlah besar, bahkan Imam Ghazali pada saat beliau masih menjadi Guru Besar, dengan gaji yang beliau terima dapat membeli kuda yang sangat mahal. Bahkan paling mahal dan paling bagus kala itu. Sebab selain mengajar, Imam Ghazali tidak memiliki usaha lain sebagai pemasukan keuangan keluarga. Pada waktu itu, pihak Negara juga menyediakan dana untuk melakukan penelitian. Hingga pada waktu itu sudah ditemukan mesin pendingin ruangan.
Status dosen di madrasah tersebut ditetapkan berdasarkan pengangkatan dari khalifah dan bertugas dengan masa tertentu. Untuk menunjukkan betapa madrasah ini mencoba mengembangkan diri menjadi suatu lembaga pendidikan yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Sesudah Nizam al-Mulk membuka madrasah-madrasah Nidzamiyyah di banyak kota, ia menetapkan untuk memberi gaji setiap bulan bagi setiap tenaga pengajar di madrasah-madrasah tersebut. Namun kebijaksanaan Nizam al-Mulk tentang gaji tersebut belum bisa diterima oleh para tenaga pengajar di Madrasah Nidzamiyyah. Mereka lebih suka tanpa digaji tetapi kesejahteraan hidupnya terjamin. Bagi para dosen gagasan untuk menggaji guru pada masa itu dipandang sebagai suatu gagasan yang terlalu maju.[22]
c.       Strategi dan Pola Pendidikan Madrasah Nidzamiyyah
1)      Strategi pengembangan Madrasah Nidzamiyyah
Hal yang membuat lembaga-lembaga pendidikan Madrasah Nidzamiyyah signifikan dalam sejarah Islam adalah bahwa mereka semua penganut mazhab Syafi’iyyah dan berada di Nishapur, sebuah tempat penting untuk memahami kerangka politik, khususnya yang berhubungan dengan konflik internal Sunni antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Dua kelompok besar ini merupakan gerakan keagamaan yang paling berpengaruh di Nishapur pada paro pertama abad ke-11. sejarawan ahli masa klasik dan pertengahan dari Amerika, Bulliet, menyebut mereka sebagai tokoh-tokoh yang meramaikan Nishapur selama dua abad. Ini tidak berarti bahwa kelompok Qarramiyyah (Qaramithah), Syiah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah tidak mempunyai peran .
Pemberian perhatian khusus kepada dua raksasa itu berdasarkan alasan bahwa keduanya telah memainkan peran penting dalam bernegosiasi dengan pemerintah pusat Baghdad. Bajkan, al-Kunduri, salah seorang wazir Seljuk sebelum Nizam al-Mulk terkenal sebagai penganut Hanafiyyah yang congkak. Adapun Nizam al-Mulk, wazir Seljuk yang terbesar dan termasyhur terkenal sebagai Syafi’iyyah tulen. Konflik asyabiyah atau taasub tersebut sampai hukuman bunuh pada lawan politik dan pemikiran, tidak adanya upaya mendamaikan misalnya dengan dialok atau pernikahan.
Konflik ini lebih jelas bila disepakati bahwa semua Syafi’iyyah adalah Asy’ariyyah yang akan menjadi aliran teologi terpenting di hari kemudian. Kelompok yang terakhir ini tidak hanya berhadapan dengan Mu’tazilah, tetapi juga bersitegang dengan Hanbaliyyah pada abad ke-11. pada abad ini Asy’ariyyah agaknya berhasil mengakhiri pengaruh Mu’tazilah. Dua abad sebelumnya, ketika pengaruh Mu’tazilah demikian besar, al-Mutawakkil (salah seorang Khalifah Abbasyiah Baghdad 232 H/847 M) menghukum mereka secara dahsyat. Al-Juwaini dan al-Ghazali (meninggal 1111 M) adalah dua contoh utama pendukung Ash’ariyyah yang berhasil mengasingkan ide-ide Mu’tazilah di masyarakat.
Kembali ke faksi Sunni, sesungguhnya faksi itu lebih merupakan masalah manajemen pertentangan yang ada antarkelompok. Pada tingkat tertentu polaritas ini memburuk karena perpanjangan penguasa. Karena Nishapur merupakan daerah subur, berpenduduk banyak dan beberapa ulama penting ada di situ, pemerintah pusat di Baghdad memberikan perhatian khusus terhadap daerah ini. Tatkala Nishapur dibawah pemerintahan Ghaznawiyah sebelum jatuh selamanya ke tangan Seljuk tahun 1039 M, patronasi (patronage) penguasa berganti-ganti antara Hanafiyyah dan Qarramiyyah. Aliansi temporer ini terus berlangsung selama pemerintahan Seljuk. Hanafiyyah dan Syafi’iyyah adalah dua kekuatan utama yang bersaing dalam merebut simpati pemerintah. Pada tahun 1048 M persekusi resmi terhadap Syafi’iyyah oleh al-Kunduri, wazir Seljuk, dimulai. Mulai tahun ini sampai meninggalnya al-Kunduri (1064 M), yang dihukum mati secara rahasia karena kesalahannya menentang pengganti Tugril Beg, Alp Arslan, NAishapur didominasi oleh Hanafiyyah dengan intens.
Seperti al-Kunduri, Nizam al-Mulk juga memanfaatkan rivalitas yang ada diantara faksi-faksi. Perbedaannya adalah kecermatan Nizam dalam mendekati masalah dan estimasinya yang brilian. Tidak diragukan lagi bahwa Nizam cerdik-cendekia dan bijak dalam menyelesaikan setiap persoalan. Karyanya mengenai persoalan-persoalan pemerintahan yang bias kit abaca sampai sekarang merupakan salah satu buktinya. Selama 20 tahun pemerintahan Maliksyah, kekuasaan Nizam benar-benar mutlak. Dialah penguasa riil di Kerajaan Seljuk, sebuah posisi yang juga diidam-idamkan oleh al-Kunduri tetapi ia gagal meraihnya.
Pada hari kemenangan Nizam al-Mulk, keputusan sepenuhnya berada di tangannya. Sebagai politisi yang bijak dan ulung, dia memilih cara memeperoleh simpati masyarakat dengan cara memperbanyak Madrasah Nidzamiyyah, memanfaatkan ulama-ulama Syafi’iyyah dan memperkuat institusi-institusi Syafi’iyyah secara umum. Apa yang ia lakukan ternyata berbuah besar. Beberapa ulama Syafi’iyyah-Ash’ariyyah abad ini, seperti Imam Haramayn dan Imam al-Ghazali memberikan sumbangan besar terhadap lembaga-lembaga pendidikannya. Dia mendirikan begitu banyak madrasah dari Khurasan di timur hingga Syria dan Mesopotamia di barat. Imam al-Haramayn bukan hanya memiliki otoritas besar di Madrasah Nidzamiyyah Khurasan, yakni madrasah yang dipercayakan sepenuhnya oleh Nizam al-Mulk kepadanya, melainkan juga menjadi khatib yang disegani di Nishapur. Sebagian besar posisi penting keagamaan di pemerintahan dipegang para ulama Syafi’iyyah-Asy’ariyyah, sedangkan posisi yang kurang penting dipegang oleh Hanafiyyah. Disebabkan madrasah yang berkembang pesat dan penurunan pajak rakyat, aghniya’ (jutawan dermawan) dengan tulus mendukung proyek madrasah dengan sumbangan mereka yang berupa sedekah dan wakaf. Ini berarti bahwa madrasah-madrasah yang didirikan Nizam dengan mantap disponsori oleh penguasa dan rakyat .[23]
Dengan demikian, gerakan-gerakan madrasah ini bias dipandang sebagai upaya reaksi terhadap gerakan Syi’ah yang sebagian besar di barat, terutama di Mesir (Universitas Al-Azhar), atau dilihat sebagai upaya untuk mengimbangi rekayasa pendidikan yang dilancarkan sebelumnya oleh Hanafiyyah di Nishapur. Tetapi yang jelas rekayasa pendirian madrasah-madrasah di bawah kekuasaan Nizam itu merupakan symbol kemenangan Sunni sekaligus sebagai buah yang dipetik oleh wazir besar Nizam al-Mulk atas keberhasilannya dalam menangani konflik-konflik interen dalam masyarakat .
2)      Kurikulum Madrasah Nidzamiyyah
Telah disebutkan bahwa apa yang diajarkan di Madrasah Nidzamiyyah masih terbuka untuk didiskusikan. Ciri-cirinya yang telah diulas singkat itu akan menentukan kurikulumnya. Keterlibatan Imam Haramayn di Madrasah Nidzamiyyah Nishapur merupakan bukti kuat bahwa ajaran-ajaran Ash’ariyyah diajarkan di situ. Bahkan, nama Abu al-Hasan Ash’ari terpampang di pintu lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh Nizam .
Disamping fiqih dan tauhid, cabang-cabang ilmu agama yang lain, seperti ushul fiqh, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits Nabi, akhlaq, sangat mungkin sekali diajarkan di situ. Alasannya adalah bahwa setiap muslim wajib, fard al-’ain, mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Imam al-Ghazali menekankan pentingnya kewajiban ini dalam karyanya Ihya al-’Ulum al-Din. Masuk akal bahwa al-Ghazali mengalamatkan kewajiban belajar kepada siswa-siswanya di Baghdad karena dia menulis beberapa bukunya sambil mengajar di madrasah itu. Masuk akal juga bahwa cabang-cabang ilmu agama yang lain, seperti nahwu, sharaf, adab (literature) juga disajikan di situ meskipun ilmu-ilmu itu hanya sebagai pelengkap.
Agaknya Madrasah Nidzamiyyah mempunyai kurikulum yang menekan-kan supremasi fiqih. Semua cabang ilmu agama yang lain diperkenalkan dalam rangka menopang superioritas dan penjabaran hokum Islam. Pe Khoirul Anam, M, "Melacak Paradigma Pendidikan Islam; Sebuah Upaya Menuju Pendidikan Yang Memberdayakan", dalam Http://re-search.com/mk-anam.html
K. Hiti, Philip, "History of Arab", Terj. Ushuluddin Hutagalung. Bandung, Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas
ndidikan serba fiqih adalah cirri yang menonjol dalam pendidikan Sunni muslim abad ke-11. sebagaimana yang terungkap dalam sejarah, pola pendidikan semacam ini terus berlanjut dari abad ke abad. Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Madrasah Nidzamiyyah benar-benar menjadi model pendidikan madrasah pada masa klasik dan pertengahan Islam .[24]
3)      Pola pendidikan Madrasah Nidzamiyyah
Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang menggunakan sistem sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, test kenaikan tingkat dan juga ujian akhir kelulusan. Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, memiliki kelengkapan fasilitas pendidikan-dengan perpustakaan yang berisi lebih dari 6000 judul buku yang telah diatur secara katalog dan juga laboratorium, memiliki sistem perekrutan tenaga pengajar yang ketat dan pemberian bea siswa untuk yang berprestasi. Sehingga Charles Michael Stanton menyatakan bahwa Madrasah Nizamiyah merupakan Perguruan Islam modern yang pertama .[25]
Meski Madrasah Nizamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lailnnya). Bahkan, pada masa itu, kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian 'serius' dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum . Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari serbuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.

D.     DAMPAK NIDZAMIYYAH BAGI PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN ISLAM
Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai 'pemelihara' (khalifah) pada semesta . Karenanya, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan).
Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa dilaksanakan pada masa-masa kejayaan Islam. Hal ini dapat kita saksikan, di mana pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab, Asia Barat hingga Eropa Timur. Untuk itu, adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan.[26]
Madrasah Nidzamiyah merupakan contoh yang kongkrit tentang pola pendidikan modern pada masa abad pertengahan. Pendidikan Nidzamiyah memiliki jaminan keunggulan, metode dan pengembangan peserta didik yang sesuai dengan kapasitas dan kompetensi yang dimilikinya. Penghargaan atau reward yang demikian tinggi bagi guru dengan berbagai jaminan kesejahteraan, jaminan kesejahteraan keluarga, pendidikan anak, dan penghargaan terhadap kapasitas keiilmuan dan hasil kerja merupakan bentuk nyata penilaian berbasis kinerja yang pada dunia modern dijadikan standar upah.[27]
Peserta didik yang akan masuk menjadi murid Nidzamiyah melalui saringan yang luar biasa, transparan dan berkualitas, sehingga dimungkinkan dari Madrsah Nidzammiyah ini muncul intelektual Muslim yang berkualitas – murid yang berkualitas tersebut mendapatkan berbagai beasiswa dari Negara untuk membantu biaya pendidikan.
Secara umum, kehadliran Madrsah Nidzamiyah memberikan kontribuasi yang signifikan dalam proses pembangunan dan perwujudan karya intelektual-budaya umat Islam pada abad pertengahan, misalnya :
1.      Melahirkan tokoh-tokoh intelektual yang hasil karya dan pemikirannya sampai saat ini masih menjadi rujukan bagi umat Islam atau ilmuwan dunia untuk pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya Abdul Ma'ali al Juwaini, Imam Al Gazali dsb.
2.      Nidzamiyah merupakan pendidikan dengan menggunakan system sekolah yang pertama – yang dalam perspektif dunia pendidikan modern lebih mirip dengan universitas. Artinya Madrasah Nidzamiyah adalah pelopor pendidikan tinggi modern.
3.      Murid yang masuk menjadi peserta didik di Nidzamiyyah diperoleh melalui saringan yang ketat dan murid yang berprestasi mendapatkan reward dari Negara berupa beasiswa, demikian juga dengan para guru/dosen atau asistan dosen.
4.      Terdapat tingkatan kualitas dosen yang menunjukkan kualitas keilmuan, hasil kerja atau kinerja dosen, penghargaan terhadap hasil karya ilmiyah baik berupa buku atau hasil penelitian – biaya yang melimpah untuk menunjang pengembangan ilmu pengetahuan. Aspek tersebut menjadi dasar pengembangan perguruan tinggi modern.
5.       Nidzamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lailnnya). Bentuk perguruan Nidamiyah menjadi contoh pada perguruan tinggi Modern, dimana mereka mengambil spesifikasi pendidikan tertentu, misalnya Perguruan tinggi Teknik dan Perguruan tinggi yang berberak dibidang Pendidikan.
6.       kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum – yang ternyata menjadi nafas dan trend bagi pergururuan tinggi modern.[28]

E.     KESIMPULAN
Dari tulisan diatas, paling tidak ada lima hal yang dapat kita petik dari Madrasah Nidzamiyyah,yaitu:
1.      Nidzamiyyah telah berjasa dalam mengembangkan Sunni Syafi'iyyah,
2.      Nidzamiyyah sangat menghargai guru dengan gaji yang sangat besar, sehingga guru tidak perlu lagi berfikir mencari nafkah untuk keluarganya,
3.      Madrasah ini betul-betul menyeleksi calon Mahasiswanya dengan sangat ketat, sehingga betul-betul menjadi sekolah favorit sampai saat itu dan wajar jika banyak alumninya menjadi ulama handal,
4.      Nidzamiyyah sangat mendukung kemajuan ilmu pengetahun, hal ini terbukti pengelola Nidzamiyyah menyediakan beasiswa/biaya bagi dosen yang mau mengadakan penelitian untuk menemukan teori-teori baru.
5.      Madrasah Nidzamiyyah telah berjasa dalam banyak hal, diantaranya; berhasil memberhentikan meluasnya aliran Mu'tazilah dan aliran syi'ah, mengembangkan Sunni Syafi'iyyah, menyebar teologi Asy'ariyyah, dan juga turut menumbangkan teologi Mu'tazilah dan Syi'ah
DAFTAR PUSTAKA

Al-Subki, Tabaqat al-Shafi’iyya al-Kubra vol III. Kairo, 1964.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10. Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Faruqi, M, The Development of the Institutions of Madrasa and the Nizamiyya of Baghdad, Islamic Studies, vol. 26, musim gugur 1987, hlm. 258
Http://mazguru, wordpres, com/ Madrasah Nidzamiyyah Sejarah dan perkembangannya.html
Http://www.republika.co.id/berita/33877/Abdul Ma'ali Al Juwaini Sang Cahaya Agama (diya'uddin).html
Khoirul Anam, M, "Melacak Paradigma Pendidikan Islam; Sebuah Upaya Menuju Pendidikan Yang Memberdayakan", dalam Http://re-search.com/mk-anam.html
K. Hiti, Philip, "History of Arab", Terj. Ushuluddin Hutagalung. Bandung, Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas
Mas’ud, Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik. Yogyakarta, Gama Media, 2002.
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam" Jilid II. Jakarta, Pustaka Al Husna, 1987.
Tafsir, Ahmad, "Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam". Bandung, Remaja Rosda Karya, 2000.
Taufiq, Ahmad, Mengenang Dinasti Saljuq & Madrasah Nidzamiyah", Dalam http:// www.misykat kediri.co.cc/2009/04/mengenang-dinasti-saljuq-madrasah.html




[2] Philip K. Hiti, "History of Arab", Terj. Ushuluddin Hutagalung, (Bandung.Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. h.310
[3] Ibid
[4] Ahmad Syalabi : Sejarah dan Kebudayaan Islam" Jilid II (Jakarta, Pustaka Al Husna, 1987), h.278
[5] Ibid.h.279
[6] Ibid.h.281
[7] Al-Subki, Tabaqat al-Shafi’iyya al-Kubra, (Kairo, 1964) vol III, h.137
[8] Http://mazguru, wordpres, com/ Madrasah Nidzamiyyah Sejarah dan perkembangannya.html
[9] Philip K. Hiti,op.cit
[10] Http://mazguru, wordpres, com/ Madrasah Nidzamiyyah Sejarah dan perkembangannya.html.op,cit
[11] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002)h. 153
[12] ibid
[13] Ahmad Syalabi, op,cit
[14] Ahmad Taufiq, Mengenang Dinasti Saljuq & Madrasah Nidzamiyah", Dalam http:// www.misykat kediri.co.cc/2009/04/mengenang-dinasti-saljuq-madrasah.html
[15] ibid
[17] Http://www.republika.co.id/berita/33877/Abdul Ma'ali Al Juwaini Sang Cahaya Agama (diya'ud din).html
[18] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta : Gama Media, 2002), 95
[19] Http://mazguru, wordpres, com/ Madrasah Nidzamiyyah Sejarah dan perkembangannya.html, op.cit
[20] Http://www.republika.co.id/berita/33877/Abdul Ma'ali Al Juwaini Sang Cahaya Agama (diya'ud din).html.op.cit
[21] ibid
[22] ibid
[23] Http://mazguru, wordpres, com/ Madrasah Nidzamiyyah Sejarah dan perkembangannya.html, op.cit
[24] ibid
[26] Ahmad Tafsir, "Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam", (Bandung, Remaja Rosda Karya, 2000),h. 45
[27] M. Khoirul Anam, "Melacak Paradigma Pendidikan Islam; Sebuah Upaya Menuju Pendidikan Yang Memberdayakan", dalam Http://re-search.com/mk-anam.html

[28] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar