Sabtu, 29 Oktober 2011

DAULAH FATIMIYAH DI MESIR


DAULAH FATIMIYAH DI MESIR
Oleh: M.Subhan Lutfi,S.Pd.I

A.    Pendahuluan
Daulah Fatimiyah berasal dari golongan Syi’ah sekte Ismailiyah yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifaan Daulah Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah Az-Zahra. Karenanya mereka menganggap bahwa merekalah ahlulbait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Daulah Fatimiyyah yang dipimpin oleh Said ibnu Husein yang bergelar Al-Mahdi, dia memperoleh keberhasilan yang sangat cemerlang dalam menyebar luaskan islamiyahnya. Dia berhasil menyebar luaskan ajarannya dari Afrika sampai ke daerah Mesir. Setelah menaklukkan Mesir, perluasan wilayah kekuasaan Fatimiyah diarahkan ke wilayah Timur, dari Afrika menuju Asia Barat. Sehingga terbentang luaslah wilayah kekuasaan Fatimiyyah.
Dalam perkembangannya Daulah Fatimiyah mampu membangun sistem perpolitikan yang begitu maju dan ilmu pengetahuan yang juga berkembang pesat, namun sebagaimana daulah sebelumnya, Daulah Fatimiyah juga mengalami zaman kemunduran dan kehancuran. Untuk itu, maka yang menjadi pokok permasalahan di sini adalah: Bagaimana sejarah  terbentuknya Daulah Fatimiyah di Mesir? Bagaimana kemajuan Daulah Fatimiyah di Mesir? dan Bagaimana keruntuhan Daulah Fatimiyah?


B.     Sejarah Terbentuknya Daulah Fatimiyah Di Mesir
Jika kita menyebut Fatimah atau Fathimah, maka kita akan segera ingat kepada putri Rasulullah Saw., Fathimah Al-Zahrah. Wanita ini adalah putri Nabi yang diperisteri  oleh Ali bin Abi Thalib. Dari wanita inilah lahir cucu-cucu Nabi yaitu Hasan dan Husein. Daulah Fatimiyah didirikan oleh salah seorang keturunan putri Rasulullah itu. Jadi perkataan Fatimiyah merupakan nisbah kepada istri Ali bin Abi Thalib. “Dinasti ini beraliran Syi’ah Isma’iliyah” [1]
Menurut Von Grunibaum yang dikutip oleh Ajid Thohir menyatakan bahwa pada tahun 860 M kelompok ini pindah kedaerah Salamiyah di Syria dan membuat suatu kekuatan pergerakan propogandis dengan tokohnya Said Ibnu Husein. Mereka secara rahasia menyusupkan utusan-utusan ke berbagai daerah Muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan Islamiyah kepada rakyat.[2] Dengan cara inilah mereka membuat landasan pertama bagi munculnya Daulah Fatimiyah di Afrika dan Mesir.
Pada tahun 874 M muncullah pendukung kuat dari Yaman yang bernama Abu Abdullah Al-Husein yang kemudian yang menyatakan dirinya sebagai pelopor Al-Mahdi. Abu Abdullah Al Husein kemudian pergi ke Afrika Utara dan berhasil mendapat dukungan dari suku Barbar Ketama. Selain itu ia mendapat dukungan dari seorang Gubernur Ifrikiyah yang bernama Zirid.
Philip K.Hitti menyebutkan bahwa setelah mendapatkan kekuatan yang diandalkan ia menulis surat kepada Imam Ismailiyat (Said Ibnu Husein) untuk diangkat menjadi pemimpin pergerakan. Pada 909 M, Said berhasil mengusir penguasa Aghlabid terakhir untuk keluar dari negerinya. Kemudian, Said diproklamasikan menjadi imam pertama dengan gelar Ubaidullah Al-Mahdi.[3] Dengan demikian, maka berdirilah pemerintahan Fatimiyah pertama di Afrika dan Al-Mahdi menjadi khalifah pertama dari Daulah Fatimiyah. Kemudian mereka memperluas daerah kekuasaannya dari perbatasa Mesir sampai provinsi Fez di Maroko.
Daulah Fatimiyah menguasai Mesir dalam waktu relatif cepat sehingga mendorong semangat untuk segera mengadakan perubahan besar dalam segala aspek kehidupan. Bahan makanan dalam jumlah besar didatangkan dari Qairawan melalui kapal-kapal laut. Untuk mendukung perbaikan ekonomi, pemerintahan Fatimiyah mencetak mata uang, buruh-buruh paksa dihapuskan, dan sarana-sarana umum diperbaiki..
Pada masa Al-Mahdi, wilayah kekuasaan Daulah Fatimiyah terbentang dari Maroko hingga perbatasan Mesir. Kemudian menguasai seluruh Afrika Utara dan pulau-pulau di laut Tengah. Setelah menaklukkan Mesir, perluasan wilayah kekuasaan Fatimiyah diarahkan ke wilayah Timur, dari Afrika menuju Asia Barat. Mereka berhasil menguasai kawasan yang cukup luas, seperti Mekah, Madinah, Damaskus, Yaman, Libanon, Palestina, dan al-Aqsha, kawasan yang pernah menjadi pusat kekuasaan dan peradapan Islam.[4]
Selama pemerintahannya, Daulah Fatimiyah dipimpin oleh empat belas orang, yaitu: Ubaidillah Al-Mahdi, al-Qo’im (322 H/934 M), al-Mansur (322 H/945 M), al-Mu’izz (341 H/952 M), al-Aziz (364 H/973 M), al-Hakim (386 H/996 M), al-Zahir (411 H/1020M), al-Mustansir (427 H/1035M) Al Musta’li (1094 H/1101 M), Al–Amir (1101 H/1131 M), Al–Hafizh (1131 H/1149 M), Azh–Zhafir (1149H/1154 M), Al–Faiz (1154 H/1160 M), Al–‘Adhid (1160 H/1171 M).[5] Tetapi disini yang lebih berperan dalam kemajuan Daulah Fatimiyah hanya 8 orang, yaitu: Al-Mahdi, al-Qo’im, Al-Mansur, al-Mu’izz, al-Aziz, al-Hakim, al-Zahir, dan al-Mustansir. Mereka inilah yang membuat sejarah kejayaan Daulah Fatimiyah di Mesir.
Pekerjaan pertama yang dilakukan oleh Al-Mahdi adalah berusaha meyakinkan kepada umat islam bahwasanya dia benar-benar keturunan dari Fatimah putri Rasulullah Saw yang di nikahi oleh Ali bin Abi Thalib. Kemudian tugas selanjutnya di perankan  oleh Al-Muiz yang berusaha menguasai Mesir sebagai pusat dunia islam dizaman itu. “Tugas utama Muiz saat itu adalah: 1) Mendirikan ibu kota baru yaitu Kairo, 2) Membina suatu Universitas Islam yaitu Al-Azhar, 3) Menyebar luaskan ideology Fatimiyah, yaitu syi’ah ke Palestina, Syiria, dan Hijaz”.[6]
Mayoritas masyarakat Islam di Mesir berpaham Sunni. Secara politis, penguasa Fatimiyah mulai mengadakan perubahan cukup penting. Sejak Al-Mu’izz masuk ke Mesir pada tahun 972 M, dia merombak pakem doktrin kepemimpinannya. dia menggunakan dua simbol jabatan kepemipinan, yaitu sebagai imam dan khalifah. Hanya saja, konsep khalifahnya berbeda dengan konsep Sunni yang dipahami sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW dalam kepemimpinan umat Islam. Khalifah dalam konsep Al-Mu’izz, dilandaskan pada doktrin utama aliran Ismailiyah, yaitu bahwa Muhammad bin Ismail tidak akan muncul lagi sebagai “Al-Mahdi.” Yang muncul hanyalah “wakil” (khalifah), yaitu keturunan Imam Fatimiyah. Dengan demikian, Istilah khalifah yang digunakan Fatimiyah dipahami sebagai jabatan yang mewakili atau menggantikan Muhammad bin Ismail dalam memimpin umat.
Pada masa pemerintahannya, al-Mu’izz berhasil menaklukkan Maroko, Sicilia, dan Mesir. Dengan menduduki kota Kairo lama (Fustat) dengan menyingkirkan Dinasti Iksyidiyah. Setelah menguasai Mesir (973M), Daulah Fatimiyah kemudian membangun kota Kairo baru (Al-Qahiroh), dan terus memperluas kekuasaannya sampai ke Palestina dan Syiria.
Kemakmuran Mesir ini terjadi pada masa pemerintahan al-Aziz yang memiliki sifat pemberani, bijaksana dan dermawan dan tidak membedakan antara syi’ah dan sunni, Kristen dan agama lainnya, sehingga banyak dai sunni yang belajar ke al-Azhar. Walaupun dinasti ini bersungguh-sungguh dalam mensyi’ahkan orangmMesir tapi tidak ada pemaksaan, dan juga dia memberikan kebebasan bagi setiap agama untuk bebas berkembang.[7] Inilah salah satu bentuk kebijakan yang diambil oleh khalifah Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial masyarakat Mesir.
Dari pemaparan tersebut di atas dapatlah kiranya ditarik benang merah dari kemajuan yang dicapai Daulah Fatimiyah antara lain karena: Pemimpinnya yang bijaksana, militernya kuat, administrasi pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan berkembang dan ekonomi stabil, serta kehidupan bermasyarakatnya yang tentram dan damai.
C.    Kemajuan Daulah Fathimiyah Di Mesir
Dinasti Fathimiyah mencapai puncak kejayaannya pada periode Mesir, terutama di bawah pemerintahan al-Muizz dan al-Hakim dengan kota Kairo sebagai pusat pemerintahan. Kairo tumbuh dan berkembang sebagai pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia. Kairo pun menggabungkan Fustat sebagai bagian dari wilayah administratifnya. Bahkan Cairo dijadikan sebagai salah satu kota metropolis modern yang diperhitungkan dan berpengaruh.
Pada era itu pula, Cairo menjelma menjadi pusat intelektual dan kegiatan ilmiah baru. Bahkan, pada masa pemerintahan Abu Mansur Nizar Al-Aziz (975M-996 M), Kairo mampu bersaing dengan dua ibu kota Daulah Islam lainnya yakni, Baghdad dibawah Daulah Abbasiyah dan Cordoba pusat pemerintahan Umayyah di Spanyol. Kini, Universitas Al-Azhar menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka yang berada di kota itu.
Al-Muiz melakukan tiga kebijakan besar, yaitu pembaruan di bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama.[8] Di bidang administrasi, ia mengangkat seorang menteri (wazir) untuk melaksanakan tugas kenegaraan. Di bidang ekonomi, ia memberikan gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Di bidang agama, di Mesir didirikan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Sy’iah dan dua lagi untuk Sunni. Ini memperlihat kerukunan dua aliran di Daulah Fathimiyah. Agaknya, menurut penulis, hal ini bisa disandingkan dengan dua organisasi besar keagamaan Islam di Indonesia, yang terbagi dengan sendirinya kekuasaan dan peran yang dimainkan, walau dalam tataran tertentu pergesekannya sangat kentara.
Kemajuan Daulah Fatimiyah tercapai pada masa kekhalifahan Al-Aziz yang bijaksana. Di antara faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
1.      Bidang Pemerintahan, bentuk pemerintahan pada masa ini dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan pejabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan khalifah.
2.      Filsafat, Dalam menyebarkan tentang ke-Syiah-annya, Daulah Fatimiyah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.
3.      Keilmuan dan Kesusastraan, seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa Daulah Fatimiyah adalah Yakub ibnu Killis. İa berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang menghabiskan ribuan dinar per bulannya.
4.      Ekonomi dan Sosial, dibawah Daulah Fatimiyah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli İrak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dunia non-Islam dibina dengan baik, termasuk dengan India dan negeri-negeri Mediterania yang beragama Kristen. Disamping itu, dari Mesir ini dihasilkan produk industri dan seni Islam yang terbaik. Dalam hubungan sosial para Khalifah sangat dermawan dan sangat memperhatikan warga mereka yang non-Muslim. Di bawah pemerintahannya, orang-orang Kristen diperlakukan dengan baik, apalagi pada masa Al-Aziz. İa adalah seorang khalifah Fatimiyah yang sangat menghargai orang-orang non-Muslim. Orang-orang Sunni pun menikmati kebebasan bernegara yang dilasanakan khalifah-khalifah Fatimiyah sehingga banyak di antara da’i-da’i Sunni yang belajar di Al-Azhar.[9]
Al-Aziz kemudian memunculkan program baru dengan mendirikan masjid, istana, jembatan dan kanal sehingga Daulah Fathimiyah akhirnya dikenal dengan kekuatan maritim yang tangguh. Kenyataannya, mereka berhasil membangun pertahanan maritim dan menjadi pusat perdagangan laut ketimbang menyebarluaskan ajaran dan ideologi mereka.[10]
Sementara itu, pada masa Khalifah al-Hakim, mendirikan Dar al-Hikmah, sebuah lembaga pusat pengkajian dan pengajaran ilmu kedokteran dan astronomi. Ia juga mendirikan Dar al-Ilmi, sebuah lembaga dengan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013, al-Hakim membentuk majelis ilmu pengetahuan di istana sebagai tempat berkumpulnya para ilmuwan untuk berdiskusi. Pada masa ini, muncul Ibnu Yunus (958-1009), seorang astronom besar yang menemukan pendulum dan alat ukur waktu. Karyanya, Zij al-Alibar al-Hakimi diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Temuan Ibnu Yunus kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Al-Nabdi dan Hasan Haitani (965-1039), seorang astronom, fisikawan dan opoteker.[11]
Diantara ilmuan dan ulama yang terkenal pada masa Daulah Fatimiyah adalah: Abu Hanifah Al-Maghribi (seorang Ulama Syi’ah Islamiyah), Ja’far Ibn Manshur Al-Yaman (seorang qadhi al-qudhat atau hakim agung). Muhammad al-Tamimi, Musa Ibn al-Azhar, dan Ali Ibn Ridwan (terkenal dalam bidang kedokteran), Ibn al-Haitsam (terkenal dalam bidang fisika, kimia, dan optic), Ali Ibn Yunus (dalam bidang astronomi), dan Abu al-Ala’ al Ma’arri (terkenal dalam bidang filsafat)[12]
Daulah Fathimiyah juga terkenal dengan toleransi beragamanya. Para penguasa Fathimiyah tidak mencoba melakukan tekanan agar penganut sunni menyeberang ke Syi’ah Ismailiyah. Mereka juga sangat menghargai kemerdekaan agama Kristen maupun Yahudi. Satu-satunya pengecualian adalah pada pasa khalifah al-Hakim, karena ia melakukan pembantaian terhadap penganut agama Kristen, menghancurkan gereja, membunuhi anjing serta mengharamkan jenis makanan tertentu. Di samping itu, ia memproklamirkan sebagai Tuhan dan ia dianggap gila.[13] Inilah titik awal dan alasan terjadinya perang dingin dan meletus menjadi perang Salib nantinya.
Mesir dengan segera menjadi pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah, menyaingi Daulah Abbasiyah di Baghdad. Mesir juga menjadi pusat pengembangan intelektual dan keilmuan dengan  keberadaan Universitas al-Azhar. Pada awal didirikan hingga dua abad kemudian al-Azhar telah memainkan peranan penting, sebagai pusat propaganda ajaran Ismailiyah oleh Daulah Fathimiyah, Sampai nanti Salahuddin al-Ayyubi menguasai Mesir dan menjadikan Sunni sebagai mazhab pengganti Syi’ah. Namun begitu, Kairo tetap mampu menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Dunia Islam.
Namun pada periode sesudahnya, dinasti ini melemah, terutama saat menghadapi tentara perang salib dan kaum sunni. Disamping itu, khalifahnya sering kali berusia muda dan suka berfoya-foya. Sementara itu, kalangan pejabatan terjadi perebutan kekuasaan.
D.    Keruntuhan Daulah Fatimiyah
Kemunduran Khilafah Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah berakhirnya masa pemerintahan al-Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang dilakukan Daulah Abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi diantara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari suku Barber menjadi salah satu sebab utama keruntuhan Daulah ini.
Hampir sekitar 50 tahun daulah ini menapaki sejarah keemasannya sejak masa pemerintahan Al-Mu’izz dan mulai menurun setelah berakhirnya masa pemerintahan Al-Hakim. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Antara lain:
1.      Konflik internal antar para elitnya yang cukup dahsyat dan berkepanjangan. Koflik internal dalam pemerintahan Fatimiyah muncul dikarenakan hampir semua khalifahnya, setelah wafatnya Al-Hakim, naik tahta ketika masih dalam usia kanak-kanak. Misalnya, Al-Mustansir naik tahta usia 7 tahun, Al-Amir usia 5 tahun, Al-Faiz usia 6 tahun, dan Al-Adid usia 9 tahun. Akhirnya, jabatan wazir yang mulai dibentuk pada masa khalifah Al-Aziz bertindak sebagai pelaksana pemerintahan sehingga, kedudukannya menjadi begitu penting, berpengaruh dan menjadi ajang perebutan serta ladang konflik.
2.      Selain konflik internal yang muncul di dalam kedaulahan Fatimiyah juga dikarenakan adanya 3 bangsa besar yang sama-sama mempunyai pengaruh dan menjadi pendukung utama kekuasaan Fatimiyah, yaitu bangsa Arab, bangsa Barbar dari Afrika Utara dan bangsa Turki. Di saat khalifah mempunyai pengaruh kuat, ketiga bangsa itu dapat diintegrasikan menjadi kekuatan yang dahsyat. Akan tetapi, ketika khalifahnya lemah, maka konflik ketiga bangsa itupun menjadi begitu dahsyatnya untuk saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Kondisi terakhir itulah yang dialami Daulah Fatimiyah setelah berakhirnya masa pemerintahan Al-Hakim.
3.      Adanya kenyataan bahwa meski Daulah Fatimiyah telah berkuasa di Mesir hampir 200 tahun, ternyata secara ideologis belum berhasil membumikan doktrin ideologi Syi’ah Ismailiyah. Masyarakat Muslim di Mesir teryata masih tetap setia kepada ideologi Sunni. Oleh karena itu, ketika Daulah Fatimiyah berada di ambang kehancurannya, masyarakat Muslim Mesir bukannya berusaha membantu, tapi justru berusaha mempercepat kehancurannya.
4.      Pukulan menentukan dari kehancuran Fatimiyah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Al-Adid Lidinillah. Pada saat itu, wilayah kekuasaan Daulah Fatimiyah menjadi ajang perebutan antara Nuruddin Zinki sebagai wakil Daulah Abbasiyah yang ada di Syiria dan pasukan Salib yang ada di Yerusalem pimpinan Raja Almeric. Pada tahun 1169 M, pasukan Nuruddin Zinki yang dipimpin panglima besar Shalahuddin Al-Ayyubi dapat mengusir pasukan Salib dari Mesir dan menaklukkan kekuasaan wazir dari khalifah Al-Adid. Setelah khalifah Al-Adid wafat pada tahun 1171, Shalahuddin Al-Ayyubu tidak lagi mengangkat khalifah dari Fatimiyah, tapi menjadikan wilayah Mesir kembali sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Abbasiyah Baghdad dengan status keamiran. Adapun daulah keamirannya kemudian adalah Daulah Al-Ayyubiyah.[14]
Dengan dikalahkannya tentara Salib sekaligus dikuasainya Mesir, maka berakhirlah riwayat Daulah Fatimiyah di Mesir pada tahun 1171 M yang telah bertahan selama 262 tahun.
Sekalipun Fathimiyah runtuh di Mesir, namun beberapa kelompok kecil Ismailiyah masih bertahan di Syiria, Persia dan Asia Tengah. Serta ia mengalami perkembangan pesat di India. Artinya, setelah runtuh, sebuah kekuatan tidak serta merta lenyap, tetapi masih ada dan bertahan, atau setidaknya tumbuh di tempat lain.
E.     Penutup
Dari hasil penjelasan diatas dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Daulah Fatimiyyah, ini diambil dari nama Fatimah al-Zahrah anak dari Nabi Muhammad SAW. Wanita ini adalah puteri nabi yang di peristri oleh Ali bin Abi Thalib. Dari wanita inilah lahir cucu nabi Hasan dan Husein. Dari keturunan selanjutnya inilah sebagai pelopor lahirnya Daulah Fatimiyah.
2.      Daulah Fatimiyyah ini didirikan oleh Said Ibnu Husein yang diberi gelar Ubaidillah Al-Mahdi setelah mengalahkan penguasa Aghlabid di Afrika Utara. Daulah ini beraliran Syi’ah Islami’ilah. Pusat pemerintahannya di Cairo. Daulah ini mengalami kejayaannya pada masa khalifah Abu Mansur Nizar Al-Aziz (975 M - 996 M), dengan kemajuan di berbagai bidang, baik di bidang pemerintahan, ekonomi sosial, di bidang ilmu dan perkembangan intelektual islam.
3.      Sebagai catatan penting adalah, daulah ini telah sukses menyumbangkan peradaban dalam bentuk bidang ilmu pengetahuan seperti mendirikan pusat pendidikan al-Azhar, Dar al-Hikmah dan Dar al-Ilmi. Memiliki dan menciptakan administrasi pemerintahan. Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memaksimalkan pengembangan pertanian sehingga Daulah Fathimiyah terkenal dengan penghasil gandum dan kapas terbesar pada waktu itu.
4.      Kemajuan yang dicapai Daulah Fatimiyah antara lain karena: Pemimpinnya Bijaksana, Militernya kuat, Administrasi pemerintahannya baik, Ilmu pengetahuan berkembang dan ekonomi stabil, serta Kehidupan bermasyarakatnya tentram dan damai.
5.      Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran Khilafah Fatimiyah, antara lain adalah:
a.       Banyaknya khalifah yang diangkat pada usia masih sangat belia.
b.      Konflik kepentingan yang berkepanjangan di antara pejabat dan militer
c.       Ketidakpuasan rakyat atas kebijakan pemerintah.
d.      Terjadinya persaingan memperebutkan wazir











DAFTAR PUSTAKA

Abidin Ahmad , H. Zaenal, Sejarah Islam dan Ummatnya, Jakarta, Bulan Bintang, 1979.

Amin, Mansyur, Sejarah Peradaban Islam. Bandung, Indonesia Spirit Foundation, 2004.

Arsyad, M. Natsir, Ilmuwan, Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung, Mizan, 1990.

Chairul Rofiq, Ahmad, Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta, STAIN Ponorogo Pers, 2009.

Glase, Cyrel, Ensiklopedia Islam. Jakarata, PT. RajaGrafindo Persada, 2002.

Ibrahim, Hasan, Tarikh al-Dawlah al-Fathimiyyah. Kairo, Mathba’ah Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1958.

Karya, H. Sokama, dkk, Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1996.

K. Hitti, Philip, History of The Arab. London, The Macmilland Press Ltd, 1974.

Sou’eb, Josoef, Sejarah Dahulah Abbasiyah II. Jakarta, Bulan Bintang, 1977.


Su’ud, Abu, Islamogy, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia. Jakarta, Rineka Cipta, 2003.

Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta,  PT Raja Grafindo Persada, 2004.




[1] Mansyur Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Indonesia Spirit Foundation, 2004), h. 127
[2] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet 1, h. 112
[3] Philip K. Hitti, History of The Arab, (London: The Macmilland Press Ltd. 1974) hlm. 618
[4] H. Sokama karya, dkk. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), cet 1, h. 350
[5] Hasan Ibrahim, Tarikh al-Dawlah al-Fathimiyyah, (Kairo: mathba’ah Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1958),h.226
[6] H. Zaenal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Jilid IV, h. 109
[7] Ajid Thohir, op.,cit, h. 114
[8] Josoef Sou’eb, Sejarah Dahulah Abbasiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 234-235
[9] Ahmad Chairul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Pers, 2009), cet 1, h. 214-217
[10] Abu Su’ud, Islamogy, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 92
[11] M. Natsir Arsyad, Ilmuwan, Muslim Sepanjang Sejarah, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 24
[12] H. Sokama karya, dkk, op.,cit, h.351
[13] Cyrel Glase, Ensiklopedia Islam, (Jakarata: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 97
[14]Ahmad Chairul Rofiq , op.,cit, h. 221

Tidak ada komentar:

Posting Komentar