Sabtu, 29 Oktober 2011

IBNU BAJAH TEORI ISTISQA


IBNU BAJAH TEORI ISTISQA
Oleh : M.Subhan Lutfi, S.Pd.I


A.    Pendahuluan
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakan begitu saja bahwa pemikiran filsafat islam terpengaruh oleh filsafat yunani. Para filosof islam banyak mengambil pemikiran aristoteles dan banyak tertarik terhadap pemikiran platinus. Sehingga banyak teori filosof yunani diambil oleh filosof lslam.
Salah satu diantara para filosof islam tersebut adalah ibn bajjah pada masa kejayaan islam di spanyol. Ibn bajjah adalah ahli yang menyadarkan pada teori dan praktik dalam ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi spektakulatif seperti logika, filsafat alam dan metafisika, sebagaimana yang dikatakan oleh De Boer dalam the histoty of philosophi in islam, bahwa dia benar-benar sesuai dengan al-farabi dengan tulisan-tulisannya logika dan secara umum setuju dengannya, bahkan dengan doktrin-doktin fisika dan metafisikannya.
Ibn bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya al-farabi,dan dia telah memberikan sejumlah besar tambahan-tambahan dalam karya-karya itu. Dan dia telah menggunakan metode penelitian filsafat yang benar-benar lain. Tidak seperti al-farabi , dia berurusan segala masalah hanya berdasarkan nalar semata. Dia mengagumi filsafat aristoteles, yang diatasnya dia membangun sistemnya sendiri. Tapi dia berusaha untuk memahami lebih dulu filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya ibn bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karya-karyanya aristoteles.
Filsafat bersal dari kata arab falsafah, yang berasal dari bahasa yunani , philosophia, yang berarti philos=cinta, dan Sophia=pengetahuanjadi philosophia cinta kepada kebijaksanaan kebenaran.jadi setiap orang yang berfilsafat maka dia akan bijaksana.
Filsafat merupakan suatu induk ilmu pengetahuan, yang berarti mencari hakikat sesuatu sedalam-dalamnya atau berfikir tentang sesuatu dengan seluas-luasnya sampai berpijak pada kebenaran yang terdalam.
Banyak terdapat cabang dalam filsafat, diantaranya ada filsafat Islam, filsafat Ilmu, filsafat pengetahuan maupun yang lain. Pada makalah ini kami akan membahas tentang filsafat Islam, yakni tentang salah satu filosufnya “Ibnu Bajjah”.
Kajian tentang para filosuf dan pemikiran-pemikirannya sangatlah luas. Namun dalam makalah ini kami membatasi pembahasan kami pada: Biografi Ibnu Bajjah, Karya-karya Ibnu Bajjah, Pemikiran-pemikiran Ibnu Bajjah dan Teori Istisqa

B.     Biografi Ibnu Bajjah
Nama asli Ibnu Bajjah adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Yahya al-Sha’igh. Di dunia barat ia terkenal dengan sebutan Avempace. Dia berasal dari keluarga al-Tujib, maka ia terkenal dengan sebutan al-Tujibi. Ibnu Bajjah lahir pada abad 11 M atau abad V H. di kota Sarragosa dan sampai besar. Dia dapat menyelesaikan jenjang kuliah di akademisnya juga di kota itu. Maka ketika pergi ke Granada, dia telah menjadi seorang sarjana bahasa dan sastra Arab dan dapat menguasai dua belas macam ilmu pengetahuan.
Para ahli sejarah memandangnya sebagai orang yang berpengetahuan luas dan mampu dalam berbagai ilmu. Fath ibnu Khayan yang telah menuduh Ibnu Bajjah sebagai ahli bid’ah dan mengecam pedas dalam karyanya (Qawa’id al-Iqyan) pun mengakui kekuasaan ilmu pengetahuannya dan tidak pernah meragukan kepandaiannya. Ibnu Bajjah menguasai sastra, tata bahasa, dan filsafat kuno. Oleh tokoh-tokoh sezamannya, Ibnu Bajjah disejajarkan dengan al-Syam al-Rais Ibnu Sina.[1]

C.    Karya-karya Ibnu Bajjah
Beberapa karya Ibnu Bajjah adalah:
  1. Filsafat al-Wada’, berisi tentang ilmu pengobatan
  2. Tardiyyan, berisi tentang syair pujian
  3. Kitab an-Nafs, berisi tentang catatan dan pendahuluan dalam bahasa Arab
  4. Tadbir al-Mutawahhid, rezim satu orang
  5. Risalah-risalah Ibnu Bajjah yang berisi tentang penjelasan atas risalah-risalah al-Farabi dalam masalah logika.
Karya-karya yang disunting oleh Asin Palacis dengan terjemahan bahasa Spanyol dan catatan-catatan yang diperlukan:
  1. Kitab al-Nabat, al-Andalus jilid V, 1940
  2. Risalah Ittishal al-Aql bil insan, al-Andalus, jilid VII, 1942
  3. Risalah al-Wada’, al-Andalus, jilid VIII, 1943
  4. Tadbir al-Mutawahhid, dengan judul el-Regimen del solitario, 1946
  5. Majalah al-Majama’ al-Ilm al-Arabi[2]
Tetapi karyanya yang paling terkenal adalah Risalatul Wada dan Tadbirul Mutawahhid.[3]

D.    Pemikiran-Pemikiran Ibnu Bajjah
1.      Perbedaan manusia dengan hewan
Menurut Ibnu Bajjah, perbedaan yang mendasar antara manusia dengan hewan terletak pada akal yang dimiliki oleh manusia. Dengan sifat akali ini manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk yang melebihi hewan, sebab dari akal manusia dapat memperoleh pengetahuan.
Manusia menurut Ibnu Bajjah bersifat monodualistis, artinya memiliki raga dan jiwa. Beliau menyatakan tubuh kasar artinya raga tidak dapat hidup tanpa jiwa, tetapi jiwa dapat hidup tanpa raga. Justru karena itu jiwa bersifat abadi, jiwa disamakan dengan roh, yang merupakan bagian dari nyawa, dan bersifat umum (universal).
  1. Kebenaran
Menurut Ibnu Bajjah, untuk memperoleh kebenaran, manusia harus melalui kebenaran itu sendiri. Untuk sampai ketingkat itu, alatnya adalah filsafat murni. Dengan filsafat murni manusia dapat membersihkan dirinya dari pengaruh-pengaruh luar. Hal ini dapat dilakukan dengan mengasingkan dirinya. Pada gilirannya untuk memperoleh kebenaran manusia meleburkan dirinya dengan akal faal.
Bagi manusia, kebenaran dapat dicapai dengan pikirannya sendiri, setelah lepas dari sifat-sifat hewani. Tingkat ini disebut Ibnu Bajjah dengan istilah mutawahhid. Mutawahhid diartikan sebagai penyendirian (uzlah). Pendirian disini tidak berarti orang harus mengasingkan dirinya ibarat petapa. Penyendirian dalam arti ketenangan, artinya diwaktu orang mencari kebenaran diperlukan ketenangan, ketenangan dapat diperoleh apabila orang mengasingkan diri dari keramaian
  1. Metode yang dipergunakan
Ibnu Bajah menyatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh dengan menggunakan metode eksprimen (percobaan). Percobaan dilakukan lewat perasaan (indera). Tetapi dilain pihak Ibnu Bajjah menyatakan pengamatan inderawi semata-mata belum cukup untuk mendapatkan kebenaran dan masih harus ditingkatkan lebih lanjut ketingakat pengamatan akal (rasio). Mengenai Tuhan sendiri dapat diketahui manusia melalui filsafat artinya manusia dengan berfikir sendiri (berfilsafat) akan dapat memahami (makrifat) tentang akal yang tertinggi yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kalau disimpulkan, pemikiran Ibnu Bajjah merupakan perpaduan antara perasaan dengan akal. Dalam masalah pengetahuan fakta, dia mempergunakan metode rasional-empiris, tetapi mengenai kebenaran Tuhan dia mempergunakan filsafat. Kebenaran itu sendiri dapat diperoleh manusia apabila manusia menyendiri. Metode ini disebut sebagai metode penyendirian (uzlah).[4]

E.     Teori Istisqa
Sebagai tokoh pemula Filsafat Islam di Dunia Barat, Ibn Bajjah tidak lepas dari peengaruh saudara-saudaranya, filusuf di Dunia Islam Timur, terutama pemikiran Al-Farabbi dan Ibn Sina. Dalam bukunya yang terkenal Tadbir Al-Mutawahid, Ibn Bajjah mengemukakan teori al-ittishal, yaitu bahwa manusia mampu berhubungan dan meleburkan diri dengan akal faal atas bantuan ilmu dan pertumbuhan kekuatan insaniah. Segala keutamaan dan perbuatan-perbuatan budi pekerti mendorong kesanggupan jiwa yang berakal, serat penguasaannya terhadap nafsu hewani. Dengan kata lain, seorang harus berusaha untuk berhubungan dengan alam, bersama masyarakat atau menyendiri dari masyarakat.
Berkaitan dengan teori ittishal tersebut, Ibn Bajjah juga mengajukan satu bentuk epistemologi yang berbeda dengan cara yang dikemukakan oleh Al-Ghozali di Dunia Islam Timur. Menurut Al-Ghozali ilham adalah sumber pengatahuan yang lebih penting dan lebih dipercaya, maka Ibn Bajjah mengkritik pendapat tersebut, dan menetapkan bahwa sesungguhnya perseorangan mampu sampai kepada puncak pengatahuan dan melebur ke dalam akal faal, bila ia telah bersih dari kerendahan dan keburukan masyarakat. Kemampuan menyendiri dan mempergunkan kekuatan akalnya akan dapat memperoleh pengetahuan dan kecerdasan yang lebih besar. Pemikiran insani dapat mengalahkan pemikiran hewani, sekaligus pemikiran inilah yang membedakan dengan hewan. Lebih jauh, Ibn Bajjah menjelaskan bahwa masyarakat umum bisa mengalahkan perseorangan. Masyarakat bisa melumpuhkan daya kemampuan berfikir perseorangan dan menghalanginya untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini disebabkan masyarakat itu berlumuran dengan perbuatan-perbuatan rendah dan keinginan hawa nafsu yang kuat. Jadi, dengan kekuatan dirinya manusia bisa sampai kepada martabat yang tinggi, melalui pikiran dan perbuatan. Untuk itu seseorang harus mengasingkan pemikiara dan jiwanya dari masyarakat, serta membebaskan diri dari ikatan-ikatan tradisi, yang kebanyakan dikuasai oleh khurafat.[5]



[1] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. III, 2007), hlm. 225.
[2] Ibid, hlm. 258.
[3] Miska Muhammad Amien, “Epistemologi Islam” Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam. (Penerbit Universitas Indonesia-Press, 1983), h. 47-49
[4] Ibid, h.47
[5] Muhammad Ghollab, Al-Maârifah â-Inda Mufakkir Al-Muslimin ( Kairo : Daar Al-Mishriyah, 1966 ), Hlm.272.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar