Sabtu, 29 Oktober 2011

PENDIDIKAN HOLISTIK DALAM ISLAM

PENDIDIKAN HOLISTIK DALAM ISLAM
Oleh: M. Subhan Lutfi, S.Pd.I

A.    PENDAHULUAN
Untuk terciptanya SDM yang berkualitas tentunya perlu dilaksanakan reformasi pendidikan ke arah yang lebih kondusif, terutama melalui pengenalan konsep pendidikan holistik (menyeluruh). Termasuk di dalamnya tentang pembentukan karakter.
Kendati demikian,  tidak perlu adanya program khusus yang dihadirkan sekolah untuk merealisasikan sebuah pendidikan berkarakter. Pasalnya, karakter manusia akan terbentuk dengan sendirinya.“Setiap anak bisa dikatakan membawa karakter masing-masing, sehingga untuk pembentukan karakter di bidang akademis tentunya sulit untuk menjadi keharusan dibentuknya program khusus. Karena hal tersebut,hanya akan menambah masalah baru baik bagi sekolah dan siswa itu sendiri.
Karakter yang berbudi pekerti luhur bisa terwujud jika tenaga pendidiknya dapat menjadi teladan yang baik. Disadari atau tidak, generasi penerus tentunya membutuhkan contoh teladan. “Sejauh ini negara kita bisa dikatakan krisis keteladanan, artinya berapa banyak figur yang terpublish karena korupsinya, ketidakjujurannya, manipulasi, dan lain sebagainya. Kalau kondisinya terus seperti ini apakah bisa kita mencetak generasi penerus yang memiliki budi pekerti yang baik. Untuk itu demi terciptanya pendidikan nasional dengan menerapkan pendidikan berkarakter, harus ada kerja sama yang baik secara menyeluruh.
Ketika masuk sekolah siswa dihadapkan pada masalah yang multikompleks dan dengan sendirinya mereka akan beradaptasi dan membentuk karakter tersendiri. Pelajaran apa pun yang diberikan, karakter akan muncul dengan sendirinya. Karena tujuan pendidikan nasional kita adalah mencetak generasi budi pekerti. Sebetulnya yang paling penting, karakter bisa baik ketika semua pihak ada yang ada di sekolah bisa memberikan keteladanan. Semua harus berawal dari keteladan.

B.     PENGERTIAN PENDIDIKAN HOLISTIK
Pendidikan holistik adalah pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa. Mewujudkan manusia merdeka seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, "Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri."
Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya (Basil Bernstein).[1]
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya:
  1. kesadaran
  2. kejujuran
  3. kebebasan atau kemandirian
  4. kepercayaan.
Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya:
  1. menggunakan pendekatan pembelajaran transformative
  2.  prosedur pembelajaran yang fleksibel
  3.  pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu
  4.  pembelajaran yang bermakna
  5. pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.[2]
Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Sehingga peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan.
Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi.
Gagasan pendidikan holistik telah mendorong terbentuknya model-model pendidikan alternatif, yang mungkin dalam penyelenggaraannya sangat jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya, salah satunya adalah homeschooling, yang saat ini sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
Membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu untuk membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati)

B.   STRATEGI BELAJAR HOLISTIK
  1. Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang konkrit, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry-ased learning, integrated learning)
  2. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conducive learning community) sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.
  3. Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good.
  4. Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga 9 aspek kecerdasan manusia.[3]
Seluruh pendekatan di atas menerapkan prinsip-prinsip Developmentally Appropriate PracticesModel pendidikan ini telah diterapkan di lebih dari 200 lokasi dalam program “Semai Benih Bangsa” (SBB), yaitu kegiatan TK. alternatif untuk anak-anak yang tidak mampu, dan juga dibeberapa TK dan SD swasta dan negeri lainnya.

C.    Teori Belajar Kognitif, Afektif dan Psikomotorik
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap,dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Menurut Blom, kawasan domain kognitif melibatkan kemampuan berfikir, memahami, menilai, menganalisis dan lain sebagainya.[4]
Adapun Kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, terdiri dari :
  1. Penerimaan (receiving/attending)
Kawasan penerimaan diperinci ke dalam tiga tahap, yaitu :
  • Kesiapan untuk menerima (awareness), yaitu adanya kesiapan untuk berinteraksi dengan stimulus (fenomena atau objek yang akan dipelajari), yang ditandai dengan kehadiran dan usaha untuk memberi perhatian pada stimulus yang bersangkutan.
  • Kemauan untuk menerima (willingness to receive), yaitu usaha untuk mengalokasikan perhatian pada stimulus yang bersangkutan.
  • Mengkhususkan perhatian (controlled or selected attention). Mungkin perhatian itu hanya tertuju pada warna, suara atau kata-kata tertentu saja.
  1. Sambutan (responding)
Mengadakan aksi terhadap stimulus, yang meliputi proses sebagai berikut :
  • Kesiapan menanggapi (acquiescene of responding). Contoh : mengajukan pertanyaan, menempelkan gambar dari tokoh yang disenangi pada tembok kamar yang bersangkutan, atau mentaati peraturan lalu lintas.
  •  Kemauan menanggapi (willingness to respond), yaitu usaha untuk melihat hal-hal khusus di dalam bagian yang diperhatikan. Misalnya pada desain atau warna saja.
  • Kepuasan menanggapi (satisfaction in response), yaitu adanya aksi atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha untuk memuaskan keinginan mengetahui. Contoh kegiatan yang tampak dari kepuasan menanggapi ini adalah bertanya, membuat coretan atau gambar, memotret dari objek yang menjadi pusat perhatiannya, dan sebagainya.
  1. Penilaian (valuing)
Pada tahap ini sudah mulai timbul proses internalisasi untuk memiliki dan menghayati nilai dari stimulus yang dihadapi. Penilaian terbagi atas empat tahap sebagai berikut :
  • Menerima nilai (acceptance of value), yaitu kelanjutan dari usaha memuaskan diri untuk menanggapi secara lebih intensif.
  •  Menyeleksi nilai yang lebih disenangi (preference for a value) yang dinyatakan dalam usaha untuk mencari contoh yang dapat memuaskan perilaku menikmati, misalnya lukisan yang memiliki yang memuaskan.
  • Komitmen yaitu kesetujuan terhadap suatu nilai dengan alasan-alasan tertentu yang muncul dari rangkaian pengalaman.
  • Komitmen ini dinyatakan dengan rasa senang, kagum, terpesona. Kagum atas keberanian seseorang, menunjukkan komitmen terhadap nilai keberanian yang dihargainya.
  1. Pengorganisasian (organization)
Pada tahap ini yang bersangkutan tidak hanya menginternalisasi satu nilai tertentu seperti pada tahap komitmen, tetapi mulai melihat beberapa nilai yang relevan untuk disusun menjadi satu sistem nilai. Proses ini terjadi dalam dua tahapan, yakni :
  • Konseptualisasi nilai, yaitu keinginan untuk menilai hasil karya orang lain, atau menemukan asumsi-asumsi yang mendasari suatu moral atau kebiasaan.
  • Pengorganisasian sistem nilai, yaitu menyusun perangkat nilai dalam suatu sistem berdasarkan tingkat preferensinya. Dalam sistem nilai ini yang bersangkutan menempatkan nilai yang paling disukai pada tingkat yang amat penting, menyusul kemudian nilai yang dirasakan agak penting, dan seterusnya menurut urutan kepentingan atau kesenangan dari diri yang bersangkutan.
  1. Karakterisasi (characterization)
Karakterisasi yaitu kemampuan untuk menghayati atau mempribadikan sistem nilai Kalau pada tahap pengorganisasian di atas sistem nilai sudah dapat disusun, maka susunan itu belum konsisten di dalam diri yang bersangkutan. Artinya mudah berubah-ubah sesuai situasi yang dihadapi. Pada tahap karakterisasi, sistem itu selalu konsisten. Proses ini terdiri atas dua tahap, yaitu :
  • Generalisasi, yaitu kemampuan untuk melihat suatu masalah dari suatu sudut pandang tertentu.
  • Karakterisasi, yaitu mengembangkan pandangan hidup tertentu yang memberi corak tersendiri pada kepribadian diri yang bersangkutan[5]
Kemudian Kawasan psikomotor yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari :
  1. Kesiapan
Kesiapan yaitu berhubungan dengan kesediaan untuk melatih diri tentang keterampilan tertentu yang dinyatakan dengan usaha untuk melaporkan kehadirannya, mempersiapkan alat, menyesuaikan diri dengan situasi, menjawab pertanyaan.
  1.  Meniru
Meniru adalah kemampuan untuk melakukan sesuai dengan contoh yang diamatinya walaupun belum mengerti hakikat atau makna dari keterampilan itu. Seperti anak yang baru belajar bahasa meniru kata-kata orang tanpa mengerti artinya.
  1. Membiasakan
Membiasakan yaitu seseorang dapat melakukan suatu keterampilan tanpa harus melihat contoh, sekalipun ia belum dapat mengubah polanya.
  1.  Adaptasi
Adaptasi yaitu seseorang sudah mampu melakukan modifikasi untuk disesuaikan dengan kebutuhan atau situasi tempat keterampilan itu dilaksanakan.
  1.  Menciptakan (origination) di mana seseorang sudah mampu menciptakan sendiri suatu karya. [6]

D.    IQ, EQ DAN SQ
  1. IQ (Kecerdasan Intelektual)
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan hapalan, berhitung, logika, membaca ruang. Kemampuan ini dahulu benar-benar di dewa-dewakan. Istilah yang  digunakan untuk orang yang cerdas secara intelektual ini adalah jenius. Kaitan yang paling erat dengan kecerdasan ini adalah apa yang disebut hard skill atau kemampuan khusus di bidang tertentu. Misal seorang dengan gelar dokter adalah orang yang pandai mengobati orang, seorang arsitek adalah orang yang pandai  merancang design bangunan yang megah, dan sebagainya. Karenanya banyak para ahli menyatakan bahwa kecerdasan ini merupakan sebuah dimensi kebahagian materi karena kecerdasannya terkait langsung dengan keahliannya sendiri dalam menghasilkan sesuatu

  1. EQ (Kecerdasan Emosional)
Kecerdasan Emosi atau Emotional Quotation (EQ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya.
Kecerdasan emosi dapat juga diartikan sebagai kemampuan Mental yang membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan tersebut.
Jadi orang yang cerdas secara emosi bukan hanya memiliki emosi atau perasaan-perasaan, tetapi juga memahami apa artinya. Dapat melihat diri sendiri seperti orang lain melihat kita, mampu memahami orang lain seolah-olah apa yang dirasakan orang itu kita rasakan juga. Setidaknya ada 5 unsur yang membangun kecerdasan emosi, yaitu:
a.    Memahami emosi-emosi sendiri
b.    Mampu mengelola emosi-emosi sendiri
c.    Memotivasi diri sendiri
d.   Memahami emosi-emosi orang lain
e.    Mampu membina hubungan social[7]
Bakat Roger mewakili satu diantara empat kemampuan terpisah yang oleh Hatch dan Gardner diindentifikasi sebagai komponen-komponen kecerdasan pribadi yaitu:
  1. Mengorganisir kelompok, keterampilan esensial seorang pemimpin, ini menyangkut memprakarsai dan mengkoordinasi upaya menggerakkan orang. Ditempat bermain, bakat ini dimiliki anak yang mengambil keputusan apa yang akan dimainkan oleh setiap orang atau yang menjadi ketua regu.
  2. Merundingkan pemecahan, bakat seorang mediator yang mencegah konflik atau menyelesaikan konflik-konflik yang meletup. Orang yang mempunyai kemampuan ini hebat dalam mencapai kesepakatan, dalam mengatasi atau menengahi perbantahan, mereka cakap dalam bidang diplomasi, arbitrasi atau hukum, atau sebagai perantara. Mereka ini adalah anak-anak yang mendamaikan perbantahan ditempat bermain.
  3. Hubungan pribadi, bakat ini memudahkan untuk masuk kedalam lingkup pergaulan atau untuk mengenali dan merespon dengan tepat akan perasaan dan keprihatinan orang lain.Anak-anak semacam ini merupakan “pemain tim” yang bagus, mereka cendrung paling pintar membaca emosi dari ungkapan wajah dan paling disukai oleh teman-temannya dikelas.
  4. Analisis social, mampu mendeteksi dan mempunyai pemahaman tentang perasaan, motif, dan keprihatinan orang lain. Kemampuan ini dapat membuat seseorang menjadi ahli terapi dan konselor yang kompeten.[8]

  1. SQ (Kecerdasan Spritual)
Kecerdasan spiritual atau yang biasa dikenal dengan SQ (bahasa Inggris: spiritual quotient) adalah kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif. SQ merupakan fasilitas yang membantu seseorang untuk mengatasi persoalan dan berdamai dengan persoalannya itu. Ciri utama dari SQ ini ditunjukkan dengan kesadaran seseorang untuk menggunakan pengalamannya sebagai bentuk penerapan nilai dan makna. Kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik akan ditandai dengan kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, mampu menghadapi penderitaan dan rasa sakit, mampu mengambil pelajaran yang berharga dari suatu kegagalan, mampu mewujudkan hidup sesuai dengan visi dan misi, mampu melihat keterkaitan antara berbagai hal, mandiri, serta pada akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna hidupnya.[9]
Sinotar (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai pemikiran yang terilhami. Kecerdasan ini diilhami oleh dorongan dan efektifitas, keberadaan atau hidup keilahian yang mempersatukan kita sebagai bagian-bagiannya. Sedangkan Khavari (dalam Zohar dan Marshall, 2001) berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi non material kita ruh manusia. [10]
Menurut Zohar dan Marshall (2001) kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup orang lebih bermakna dibandingkan orang lain.[11]
Ciri-ciri kecerdasan spiritual, berdasarkan teori Zohar dan Marshall (2001) dan Sinetar (2001) sebagai berikut : 
a.       Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan mendalam sehingga bisa menyadari antuasi yang datang dan menanggapinya.
b.      Mempunyai visi. Ada pemahaman tentang tujuan hidupnya, mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai. 
c.       Fleksibel. Mampu bersikap fleksibel, menyesuaikan diri secara spontan dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, mempunyai pandangan yang pragmatis (sesuai kegunaan) dan efisien tentang realitas. 
d.      Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat memandang kehidupan yang lebih besar sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan serta melampaui, kesengsaraan dan rasa sehat serta memandangnya sebagai suatu visi dan mencari makna dibaliknya. 
e.       Melakukan perubahan. Terbuka terhadap perbedaan, memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan status quo, menjadi orang yang bebas merdeka. 
f.       Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain, mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan aneh. 
g.      Refleksi diri, mempunyai kecenderungan apakah yang mendasar dan pokok.[12]

E.     HUBUNGAN ANTARA FISIK, JIWA, ROH, IMAJINASI DAN INTUISI
Esensi manusia adalah kesatuan antara alam syahâdah yang disimbolkan oleh jasad dengan alam malakût yang disimbolkan oleh ruh.[13]Atau dengan kata lain, manusia diciptakan dari perpaduan unsur materi dan unsur non-materi, antara unsur kebutuhan dengan motif fisiologis dan unsur kebutuhan psikologis, antara unsurkebinatangan dengan unsur kemalaikatan. Kedua unsur tersebut walaupun saling berlawanan dan bertentangan, tetapi saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedangkan ruh tanpa jasad tidak teraktualisasikan Fungsi dasar ruh adalah untuk mengarahkan dan mengendalikan tubuh. Benda-benda tubuh terbuat dari tanah liat yang mudah retak dan tidak memiliki kesatuan inheren. Walaupun dibakar, tanah liat bisa jadi tampak keras, tetapi ia dapat dipatahkan. Sebaliknya ruh yang terbuat dari cahaya merupakan sebuah realitas tunggal, berupa getaran dari Allah. Cahaya adalah satu, dan kegelapan adalah keanekaragaman. Sesuatu yang beragam tidak dapat menggalang kebersamaan karena mereka tidak konsisten terhadap sebuah realitas yang menyatu.
Ruh manusia berasal dari hembusan “nafas” Tuhan ke dalam tubuh manusia. Ruh tersebut memberikan keutuhan dan integritas bagi sekumpulan sel, organ, dan bagian-bagian tubuh lainnya. Tetapi masing-masing bagian tubuh tersebut memiliki kemandirian tertentu yang dijaga oleh ruh-ruh dari organ-organ individual.
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, ruh yang bersifat immateri tidak dapat mengimplementasikan peranannya tanpa perantara tubuh. Jiwa merupakan manifestasi yang menjadi mediator antar ruh dan jasad. Jiwa berada ditengah-tengah dua alam yang fundamental tersebut, dan memiliki atribut keduanya[14]
Perkembangan jiwa manusia berlangsung di dalam sebuah dunia bayangan. Jiwa yang berasal dari alam non-fisik, mula-mula, harus menjadi “kurang halus” dan menjadi lebih konkrit. Dalam proses ini, ia menjadi jiwa nabati (nafs nabatiyyah), yang memungkinkan bentuk di dalam rahim mempunyai fungsi makan, minum, dan tumbuh, seperti tumbuhan; kemampuan mentransformasikan substansi luar ke dalam bentuk sendiri. Ketika bentuk manusia tumbuh di dalam rahim, ia mengembangkan jiwa hewani (nafs hayawâniyyah), di mana ia mendapatkan kemampuan untuk bergerak. Pada saat kelahiran, jiwa hewani disempurnakan, karena bentuk manusia memperlihatkan berbagai hasrat. Pada awal perkembangan manusia inilah, sifat-sifat tanzîh sangat mendominasi, karena sifat-sifat ketuhanan dari ruh hampir tidak dapat dilihat pada diri seorang bayi.
Namun baru menjelang dewasalah, jiwa tumbuh dari kesadaran potensialnya ke kesadaran aktualnya yang ditandai dengan tumbuhnya jiwa rasional (nafs na thiqah)[15] dengan mengikuti petunjuk-petunjuk kenabian. Dengan begitu sifat-sifat ketuhanan akan semakin tampak. Cahaya yang suram bersinar pada masa awal perkembangan menjadi semakin terang dan jelas seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran manusia. Pada saat inilah pencarian jiwa baru dapat dimulai. Kemampuan untuk mentransformasikan diri menjadi ada.[16] Hal ini berimplikasikan pada adanya tingkatan-tingkatan jiwa manusia yang menurut al-Ghazali dibagi menjadi lima tingkatan, yaitu:

  1. al-hiss memiliki kesadaran yang bersifat alami dan kualitasnya rendah.
  2. al-khayâli yang berfungsi sebagai penyimpan kesan-kesan yang diperoleh melalui panca indera, dan menyampaikannya ke jiwa yang berikutnya.
  3. al-´aqli yang merupakan penemu makna-makna yang terkandung di balik fenomena-fenomena, di luar kedua jiwa sebelumnya.
  4. al-fikri yang mengambil ilmu-ilmu akal murni sampai pada kesimpulannya.
  5. al-nabawi al-qudsi yang khusus dimiliki oleh para nabi dan wali, karena dengan jiwa ini seseorang dapat menyingkap hijab-hijab kegaiban dan pengetahuan ketuhanan yang tidak dijangkau oleh jiwa-jiwa sebelumnya.[17]

Sehingga dari tingkatan-tingkatan jiwa itu membentuk struktur daya jiwa yang terdiri dari lima indera internal; akal sehat, daya khayal (imajinasi), kecerdasan, daya memori, dan intelek. Fungsi dari kelima indera internal ini dilukiskan berdasarkan bentuk dan makna. Akal sehat adalah kemampuan untuk memahami bentuk dari sesuatu, sedangkan daya khayal adalah kemampuan untuk memahami makna. Kedua struktur ini akan menjadi operatif jika seseorang dapat memahami bentuk dan makna secara bersamaan. Kecerdasan merupakan kemampuan menyerap dan menyimpan serta melestarikan bentuk-bentuk. Sedangkan daya memori merupakan kemampuan menyimpan dan melestarikan maknamakna. Kedua fungsi tersebut memainkan peranan penting dalam kontemplasi. Sedangkan yang terakhir, intelek, merupakan kemampuan intuitif, hati spiritual dalam bahasa sufi, untuk mengatur dan mengendalikan fenomena sensibel maupun nomena intelejibel sedemikan rupa sehingga keseimbangan antara keduanya senantiasa terpelihara.[18]
Imajinasi yang berperan penting sebagai “jembatan” antara akal dan perasaan pada manusia berada pada dunia imajinal berupa gerakan-gerakan fisik atau transformasi benda-benda material. Ketika sesuatu dijelmakan, ia muncul kepada seseorang sebagai sebuah “bayangan”. Proses penjelmaan ini disebut imajinal yang memiliki suatu realitas tertentu. Benda-benda imajinal memiliki sifatsifat bersisi dua, seperti jiwa memiliki sifat-sifat ruh dan sifat-sifat tubuh.[19]
Realitas yang muncul tersebut kadang mempunyai makna dan bentuk yang saling berlawanan. Misalnya seseorang yang bermimpi melihat sesuatu yang bersifat korporeal, bukan sebagai sesuatu yang bersifat korporeal. Objek yang dilihatnya memiliki bentuk korporeal sekalipun ia berada di dalam dunia imajinal.Imajinasilah yang bertugas untuk memahami makna, yakni hakikat segala sesuatu yang tidak memiliki bentuk luar, karena makna adalah milik dunia kecerdasan. Sementara bentuk inderawi adalah milik dunia eksternal jasad-jasad korporeal.
Namun imajinasi memiliki kekuatan untuk memadukan makna dan bentuk-bentuk inderawi yang saling berlawanan tersebut. Karena menurut Ibn ‘Arabi,[20]salah satu akibat dari kekuatan tersebut karena penciptaan dunia imajinasi yang nyata di dalam seluruh pertentangannya (coincidentia opositarum). Perasaan dan akal tidak mungkin dapat berada di dalam pertentangan secara bersamaan, akan tetapi mungkin bagi imajinasi. Kebenaran dari hal ini dapat ditangkap dari Firman Tuhan, “Engkau tidak melempar ketika engkau melempar”.[21] Bahwa apa yang terlihat pada dunia imajinal (mimpi) bukan kenyataan sesungguhnya.
Kehadiran imajinasi menjadi nyata saat seseorang tertidur atau absen dari segala sesuatu yang bersifat inderawi. Dalam tidur, imajinasi mencapai keutuhannya dan, utamanya, dalam kondisi eksistensialnya. Hal inilah yang dialami kaum gnostik (al-ârif) pada keadaan-keadaan spiritual, seperti ketidakhadiran (gaibah), kesirnaan (fanâ), ketiadaan (mahw), dan keadaan serupa lainnya.[22]
Kehadiran imajinasi menolong manusia untuk mengetahui bahwa terdapat dunia lain yang mirip dengan dunia inderawi. Melalui percepatan transmutasi bentuk imajinal, Dia mengundang perhatian orang-orang yang bermimpi supaya tertuju pada kenyataan bahwa di dalam dunia inderawi terdapat eksistensi wujud
yang senantiasa mengalami transmutasi, meski hanya mampu ditangkap melalui kata-kata dan gerakan dan tidak melalui mata dan perasaan. Kecuali, orang yang dapat menangkap berbagai bentuk transmutasi dan perubahan dengan menggunakan penglihatan mata hati, yakni penyingkapan melalui refleksi.[23]

F.     KESIMPULAN
Pendidikan holistik adalah pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa
Kawasan domain kognitif melibatkan kemampuan berfikir, memahami, menilai, menganalisis dan lain sebagainya. Adapun Kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, terdiri dari :Penerimaan (receiving/attending), Sambutan (responding), Penilaian (valuing), Pengorganisasian (organization), Karakterisasi (characterization). Kemudian Kawasan psikomotor yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari :Kesiapan,  Meniru, Membiasakan, Adaptasi.
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan hapalan, berhitung, logika, membaca ruang.
Kecerdasan Emosi atau Emotional Quotation (EQ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya. Kemudian Kecerdasan emosi dapat juga diartikan sebagai kemampuan Mental yang membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan tersebut.
Kecerdasan spiritual atau yang biasa dikenal dengan SQ (bahasa Inggris: spiritual quotient) adalah kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.
























DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdurahman Haji Wacana Falsafah Ilmu “Analisis Konsep-Konsep Asas Dan Falsafah Pendidikan Negara”.Kuala Lumpur: Utusan Publication, 2005.

Al-Ghazali, “Al-Risalah al-Ladunniyah” (selanjutnya disebut al-Risâlah) dalam Majmû- ´ah Rasâil al-Ghazali. Kairo: Dar al-Fikr, 1991.

Al- Ghazali, Ma´ârij al-quds fi Ma´rifati Madârij al-Nafs, ed. Muhammad Musth afa Abu al-Ela. Kairo: Maktabah al-Jundi, 1968.

Al-Ghazali, Misykât al-Anwâr wa Mishfât al-Asrâr, (Beirut: Alam al-Kutub, 1987), h.218.

Bakhtiar, Laleh, Perjalanan Menuju Tuhan; dari Maqam-Maqam hingga Karya Besar Dunia Sufi, terj. Purwanto. Bandung: Nuansa, 2001.

Chittick, William C., Sufi Path of Knowledge. New York; State University of New York, 1989.

De Porter, Bobbi & Mike Hernacki, Quantum Learning “Unleashing the Genius In You”. Diterjemahkan Oleh Alwiyah Abdurrahman, Quantum Learning “Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan”. Bandung: PT.Mizan Pustaka, 1999.

Goleman, Daniel, Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.


Ibn Arabi, Muhyiddin, Fushûsh al-Hikam, dikomentari oleh Abu al-Elâ Afifi . Beirut: Dâr al-Kitab al-´Arabi, 1980.

Ibn ‘Arabi, Muhyiddin, Al-Futûhât al-Makiyyah, jilid IV. Beirut: Dar Shadir,1972

Koesoema A, Doni, Pendidikan Karakter “Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT.Grasindo, 2007.

Mahmud, Abd. Al-Qadir, al-Falsafah al-Shûfiyah fi al-Islâm; Mashâdiruhâ wa Nazhariyâtuhâ min al-Dîn wa al-Falsafah (Kairo: Dar al-Fikr al-´Arabi,t.th.

Murata, The Vision of Islam. Minnesota: Paragon House,1994.

Sudrajat, Akhmad, “Taksonomi Bloom”. http://www.scribd.com/doc/18022257/Taksonomi-Bloom. 3/7/2011

Sukindi, Kecerdasan Spritual. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Tim Pengembang Ilmu Pengetahuan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. PT.Imtima, 2007.





[1] Tim Pengembang Ilmu Pengetahuan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. (PT. Imtima, 2007), h77
[2] Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter “Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. (Jakarta: PT.Grasindo, 2007),h.57
[3] Bobbi De Porter & Mike Hernacki, Quantum Learning “Unleashing the Genius In You”. Diterjemahkan Oleh Alwiyah Abdurrahman, Quantum Learning “Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan”. (Bandung: PT.Mizan Pustaka, 1999),h.16
[4] Abdurahman Haji Abdullah Wacana Falsafah Ilmu “Analisis Konsep-Konsep Asas Dan Falsafah Pendidikan Negara”.(Kuala Lumpur: Utusan Publication, 2005), h.33
[5]Akhmad Sudrajat, “Taksonomi Bloom”. http://www.scribd.com/doc/18022257/Taksonomi-Bloom. 3/7/2011
[6] Ibid
[7] Daniel goleman, Emotional Intelligence. ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), h.166
[8] ibid
[10] Sukindi, Kecerdasan Spritual. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004),h.69
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Al-Ghazali, “Al-Risalah al-Ladunniyah” (selanjutnya disebut al-Risâlah) dalam Majmû- ´ah Rasâil al-Ghazali, (Kairo: Dar al-Fikr, 1991), 223.
[14] Muhyiddin Ibn Arabi, Fushûsh al-Hikam, dikomentari oleh Abu al-Elâ Afifi (Beirut: Dâr al-Kitab al-´Arabi, 1980),h.47. Lihat juga Al-Ghazali, Ihya’ Ulûm al-Dîn, (selanjutnya disebut Ihyâ), jilid III, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), Cet. II,h. 23.
[15] Al-Ghazali menyebutnya juga dengan istilah nafs insâniyah. Lihat Al- Ghazali, Ma´ârij al-quds fi Ma´rifati Madârij al-Nafs, ed. Muhammad Musth afa Abu al-Ela (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1968), h.27.
[16] Ibid. Lihat juga Murata, The Vision of Islam (Minnesota: Paragon House,1994), h.217-221.
[17] Al-Ghazali, Misykât al-Anwâr wa Mishfât al-Asrâr, (Beirut: Alam al-Kutub, 1987), h.218. Lihat juga Abd. Al-Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Shûfiyah fi al-Islâm; Mashâdiruhâ wa Nazhariyâtuhâ min al-Dîn wa al-Falsafah (Kairo: Dar al-Fikr al-´Arabi,t.th.), h.165-166.
[18] Laleh Bakhtiar, Perjalanan Menuju Tuhan; dari Maqam-Maqam hingga Karya Besar Dunia Sufi, terj. Purwanto (Bandung: Nuansa, 2001), h.37
[19] Murata, The Vision of Islam (Minnesota: Paragon House,1994), h.102
[20] Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Al-Futûhât al-Makiyyah, jilid IV (Beirut: Dar Shadir,1972), 325. Lihat juga Ibn ‘Arabi, Fush ûsh …, jilid II,h. 105.
[21] Qs. Al-Anfal (8): 17.
[22] Ibn ‘Arabi, al-Futûhâ Op.cit. h. 379.
[23] William C. Chittick, Sufi Path of Knowledge (New York; State University of New York, 1989), 119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar